Sahabat,
Pertanyaan seperti di atas, sesekali perlu kita ajukan pada diri sendiri. Untuk apa? Tentu saja untuk memacu diri, agar memanfaatkan waktu yang kita jalani. Mengumpulkan detik demi detik, agar tak ada yang tersia.
Memanfaatkan setiap saatnya agar bernilai ibadah dan berat timbangannya.
Pernahkah kita mendengar kisah tentang seorang ahli hikmah bernama Bahlul? Dalam bahasa Arab, kata bahlul berarti bodoh. Meski demikian, sang pemilik nama tidaklah bodoh sama sekali. Dengan perilakunya yang seringkali dianggap bodoh, Bahlul justru kerap memberi hikmah.
Suatu hari Bahlul dipanggil oleh raja. Sang Raja merasa heran, mengapa ada seorang manusia yang rela memakai nama Bahlul. Maka dengan penuh rasa penasaran, sang raja bertanya, “Apakah tidak ada orang lain yang pantas menyandang namamu?”
“Tidak ada, baginda. Menurut sepengetahuan saya, hamba saja yang paling bodoh dan paling pantas menyandangnya,” ujar Bahlul yakin.
“Kalau begitu, aku akan memberikan anugerah untukmu atas kejujuran itu,” kata sang raja. Lalu kepada Bahlul diberikan sebuah tongkat yang indah.
“Terimalah tongkah ini dengan satu syarat. Jika kelak kau menemui orang yang lebih bodoh darimu, maka kau harus rela menyerahkannya,” titah sang raja. Bahlul pun menyetujuinya.
Sahabat,
Kisah pun berlanjut. Suatu ketika, Bahlul mendengar kabar tentang raja yang sakit berat. Dari kabar yang menyebar, umur baginda raja sudah tak akan lama. Maka Bahlul pun menemuinya.
Setelah bertemu dan beruluk salam, Bahlul pun bertanya. “Wahai baginda, apa yang baginda rasakan sekarang?”
“Wahai Bahlul, jangan lagi kamu tanyakan. Rasanya aku akan pergi jauh. Jauh sekali.”
Bahlul yang tak mengerti bahasa isyarat, ingin mengetahui lebih dalam lagi. “Pergi kemana baginda? Sejauh apa?”
“Sejauh apa? Sangat jauh. Bahkan aku tak akan kembali dalam perjalanan ini,” kata sang raja.
“Ohoi, alangkah jauhnya, baginda. Sampai-sampai engkau tak memikirkan kembali. Apakah baginda sudah menyiapkan bekal untuk perjalanan jauh ini?” tanya Bahlul, masih tak mengerti.
“Tak ada, Bahlul, tak ada. Dalam perjalanan ini, engkau tak mungkin membawa bekal,” sang raja menerangkan.
Tiba-tiba Bahlul berdiri sambil menarik tongkatnya. Semua orang di ruangan terkejut melihatnya. Lalu Bahlul mengambil tongkatnya, dengan serta merta ia memberikan tingkat itu pada sang raja.
“Saya tidak percaya, ternyata baginda lebih bodoh dari saya. Sebodoh-bodohnya saya, saya masih mengerti semua perjalanan memerlukan bekal. Apalagi untuk perjalanan yang jauh dan tak mungkin kembali. Baginda, terimalah tongkat ini, karena baginda lebih berhak memegangnya,” tegas Bahlul mantap.
Sahabat,
Semua perjalanan memerlukan bekal. Benar, seperti yang dikatakan Bahlul. Dan jika Ramadhan ini adalah Ramadhan terakhir dalam umur kita, maka kita harus benar-benar memanfaatkannya untuk mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya.
Suatu kali Rasulullah saw pernah menaiki mimbar untuk berkhutbah. Saat menginjak anak tangga pertama beliau mengucapkan, "Amin." Begitu pula pada anak tangga kedua dan ketiga. Lalu para sahabat, seusai shalat bertanya kepada Rasulllah. “Mengapa Rasulullah mengucapkan, amin?”
Beliau pun menjawab, bahwa Malaikat Jibril datang dan berkata, “Kecewa dan merugi seorang yang bila namamu disebut dan dia tidak mengucap shalawat atasmu. Kecewa dan merugi orang yang berkesempatan hidup bersama kedua orangtuanya tetapi dia tidak sampai bisa masuk surga. Kecewa dan merugi orang yang berkesempatan (hidup) pada bulan Ramadhan tetapi tidak terampuni dosa-dosanya,” (HR Ahmad).
Sahabat,
Tak seperti bekal-bekal yang lain yang harus kita himpun. Bekal untuk menghadap Allah, justru harus kita tabur. Perbanyak sedekah, adalah mengumpulkan bekal. Perbanyak perbuatan baik, adalah mengumpulkan bekal. Perbanyak silaturahim, adalah mengumpulkan bekal.
Tidak seperti di bulan-bulan lain, di bulan yang mulia ini, Rasulullah saw mengajarkan kita untuk lebih memperbanyak infaq, sedekah dan perbuatan baik. Di bulan Ramadhan, kedermawanan Rasulullah jauh melebihi bulan-bulan yang lain. Di bulan ini beliau melipatgandakan semua perbuatan baik.
Rasulullah memerintahkan kita untuk tak berat tangan dalam bersedekah. Rasulullah mengajarkan kepada kita agar tak pernah berpikir dua kali ketika hendak memberi. Karena apa yang kita sedekahkan akan menjadi penghalang dari azab Allah yang akan datang. “Jauhkan dirimu dari api neraka, meski dengan sedekah sebutir kurma,” (HR Muttafaq Alaih).
Sahabat,
Agama ini begitu ajaib. Di buka berbagai cara untuk melakukan kebaikan. Diajarkan bermacam keutamaan. Tak melulu soal harta. Tak selalu tentang materi. Kekuatan niat menjadi landasan utama dari berbagai peristiwa.
Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk ringan tangan memberi sedekah. Lalu para sahabat bertanya tentang caranya. “Bagaimana kalau dia tidak memiliki sesuatu?”
“Bekerja dengan keterampilan tangannya untuk kemanfaatan bagi dirinya lalu bersedekah,” sabda baginda Rasulullah.
Lalu Rasulullah pun memberi cara yang lain, “Menolong orang yang membutuhkan dan sedang teraniaya.”
“Bagaimana kalau dia tidak bisa melakukannya?”
“Menyuruh berbuat ma’ruf adalah sedekah.”
“Bagaimana kalau dia tidak melakukannya?”
“Mencegah diri dari berbuat kejahatan itulah sedekah,” (HR Bukhari dan Muslim).
Sahabat,
Kita tak boleh kehilangan kesempatan untuk meraih kebaikan. Ramadhan ini kita harus menghisap kebaikannya dan kemuliaannya sampai pada tetes yang terakhir. Tak boleh ada yang tersisa dan harus menghasilkan keutamaan untuk diri kita.
Jangan sampai kita menjadi orang-orang yang telah diberi peringatan oleh Rasulullah saw. Banyak di antara orang yang berpuasa, tapi tak mendapatkan kebaikan dan kemuliaan dari bulan Ramadhan yang penuh berkah. “Mungkin hasil yang diraih seorang shaum hanya lapar dan haus saja. Mungkin hasil yang dicapai seorang yang shalat malam hanyalah berjaga,” (HR Ahmad dan Al Hakim).
Na’udzubillah. Semoga Allah melindungi kita dari perbuatan dosa dan perilaku yang sia-sia. Amin.
Herry Nurdi
0 comments:
Posting Komentar