14 November 2013

Retorika untuk Mengguncang Dunia

0 comments


Sejarah selalu punya tokohnya sendiri. Perubahan besar dunia selalu didalangi oleh sosok ikonik yang menjadi penentu berbagai catatan peristiwa yang sangat dramatis. Jika kita menelisik sejarah pergolakan manusia sepanjang masa, maka akan selalui kita temui fakta bahwa pendulum perubahan selalu bergeser haluan karena pidato dengan retorika yang menggugah dan mengerakkan. Sejak era Yunani kuno hingga zaman sekarang akan selalu ada negarawan yang menjadikan lisannya sebagai ujung tombak perjuangan mereka. Rasulullah Muhammad ShalaLlahu alaihi wasallam, dalam sebuah hadist pernah mengungkapkan bahwa “Sesungguhnya sebagian Retorika adalah Sihir”.

Indonesia, sebagai bangsa besar memiliki banyak pejuang dengan retorika yang memukau. Dari sekian banyak momen heroik dalam perjuangan kemerdekaan, yang populer direkam sejarah adalah kata-kata bertenaga dari Proklamator Indonesia, Bung Karno Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia” ataupun Orasi menggugah dari seorang Bung Tomo ketika menggelorakan keberanian dan perjuangan arek-arek Suroboyo 
“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga. Kita tunjukken bahwa kita ini benar-benar orang-orang yang ingin merdeka. Dan untuk kita saudara-saudara, lebih baik hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap “Merdeka atau Mati”. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!! Merdeka!!”




Bagi kita anak-anak bangsa. Ketika kembali membaca atau mendengarkan kisah heroik mereka, maka tentu saja kita akan merinding membayangkan betapa dalam dan bertenaganya kata-kata tersebut, terlebih diucapkan di momen-momen yang krusial, disaat-saat peralihan sejarah besar terjadi.   Inilah yang menjadi keistimewaan sebuah retorika, lebih mematikan dan dahsyat dibanding rudal pemusnah massal sekalipun.

Menurut Wikipedia, Retorika dapat didefinisikan sebagai sebuah teknik pembujuk-rayuan secara persuasif untuk menghasilkan bujukan melalui karakter pembicara, emosional atau argumentasi. Inti dari Retorika adalah persuasi, sedang proses persuasi sendiri meliputi tiga hal : (1) Tindakan untuk mengubah sikap dan perilaku seseorang dengan menggunakan kata-kata lisan/tertulis, (2) suatu usaha untuk menanamkan opini baru, dan (3) Suatu usaha yang dilakukan secara sadar, untuk mengubah sikap, kepercayaan, dan perilaku orang dengan transmisi pesan. 

Dari pengertian tersebut, maka kita akan memahami mengapa retorika bisa menjadi senjata penting dan mematikan bagi seorang negarawan untuk mengisi sejarah.
  
Retorika yang memukau dapat diibaratkan sebagai sebuah peluru kendali berupa rudal yang mampu membuat gentar musuh. Seseorang dengan kemampuan retorika memukau, dapat mengaduk-aduk emosi pendengarnya. Disatu waktu dapat membuat pendengarnya tertawa terbahak-bahak namum diwaktu yang lain dapat membuat pendengarnya menangis haru dan tersedu-sedu. Bung Karno, pada gerakan revolusi kemerdekaan dulu, untuk memantik keberanian di dada para pemuda, dengan retorika yang memukau, kerap kali mengucapkan kalimat ”L’audace, l’audace, toujours l’audace!" Yang artinya ”Keberanian, keberanian, selalu keberanian!”. Sebuah kalimat  yang dikutip dari seorang tokoh Revolusi Perancis, Georges Danton. 

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah rahasia dari retorika yang mengguncang dunia tersebut? Berdasarkan buku “Ilmu Retorika Untuk Mengguncang Dunia” karya Dwi Chondro Triono, PhD.  Kunci dari semua retorika yang memukau ada pada ide atau gagasan yang dimiliki oleh Sang Orator yang hendak dilemparkan dihadapan segenap para pendengarnya.  
Jika ditelisik lebih mendalam. Retorika bagaikan “Rudal Pemusnah masalah”. Yang mana dari setiap rudal itu terdapat 3 unsur yaitu : peluncur missil (peluncur rudal), roket (sebagai penggerak atau pendorong), dan kepala missil (Kepala Rudal). Ketiga unsur ini coba kita samakan dengan retorika yang juga memiliki 3 unsur yaitu: (1) Kekuatan Ide sebagai unsur dari kepala Misil. (2) Retorika penyampaian sebagai unsur dari Roket itu sendiri. (3) Penataan panggung sebagai unsur dari Peluncur missil

Dari ketiga urutan diatas, kita jadi paham, bahwa unsur yang paling penting dari retorika adalah kekutan ide itu sendiri
yang sangat menentukan. Apakah retorika itu akan menjadi senjata yang sangat ditakuti atau hanya sekedar pelipur lara dikala masyarakat dilanda duka. Dalam terminologi “Multiple Intellegence”, dikenal istilah Kecerdasan Naratif, yakni sebuah kecerdasan bernarasi atau kemampuan membangun sebuah gagasan dan ide yang kemudian dapat disampaikan kepada pendengar dan dimengerti secara sederhana. 
  
Mengamati cuplikan kata-kata bertenaga dari para pahlawan, maka sudah tentu kita dapat merasakan bahwa kemampuan retorika yang memukau tersebut juga didukung dengan kecerdasan naratif sang orator.  Seorang Negarawan harus mampu memberikan narasi berupa visi serta cita-cita perjuangan yang jelas kepada masyarakatnya. Tidak hanya membuatnya mengerti, tapi juga ikut berkelindan dan berkeringat untuk menghantar masyarakatnya meraih segala hal yang dicitakan. Dan sekali lagi, Bangsa kita membutuhkan Negarawan-negarawan ulung dengan retorika memukau yang mampu mensinergikan antara perkataan dan perbuatan dalam satu tarikan nafas perjuangan. Seperti kata Yusuf Qhardawi Retorika bukan hanya persoalan pidato atau percakapan melainkan perilaku dalam kebajikan yang mencangkup seluruhan aspek kehidupan manusia. Bukankah Retorika yang paling mengerakkan adalah perbuatan?  Sebagaimana ungkapan berbahasa Inggris yang lazim kita dengar, “Action Speaks Louder than word”.  



12 November 2013

Bonus Demografi

0 comments



 *Dimuat Koran Pontianak Post, Kolom Opini halaman 14


Dalam ekonomi kependudukan dikenal istilah transisi demografi, yaitu sebuah konsep mengenai proses penurunan angka kelahiran sampai terciptanya tingkat populasi yang stabil. Tahap transisi demografi ini dibagi kedalam 3 fase. Fase yang pertama, angka kelahiran dan kematian tinggi akibat kemiskinan yang akut. Fase kedua, terjadi peningkatan standar hidup sehingga angka kematian menurun dan angka kelahiran tetap tinggi. Fase ketiga, angka kematian rendah dan orang cenderung membudayakan tradisi pembatasan kelahiran karena adanya modernisasi gaya hidup sehingga angka kelahiran menurun.

Transisi demografi akan mengubah struktur usia dari populasi penduduk, dimana proporsi penduduk muda (usia 0 – 14 tahun) mengalami penurunan, proporsi penduduk usia produktif ( usia 15-64 tahun) meningkat pesat, dan proporsi penduduk usia tua (66 tahun keatas) meningkat perlahan.  Dampaknya pada beberapa tahun kedepan akan terjadi fenomena “Bonus Demografi” yang diikuti penurunan dependency ratio  hingga ke titik terendah. Bonus demografi adalah suatu situasi dimana angka proporsi penduduk terbanyak diisi oleh usia produktif antara 15-64 tahun yang merupakan angkatan kerja muda yang siap diberdayakan sedang Dependency ratio menunjukan perbandingan antara kelompok usia produktif dan non produktif yang menggambarkan berapa banyak orang usia non produktif yang hidupnya harus ditanggung oleh kelompok usia produktif.

Indonesia khususnya pontianak, setelah fase transisi demografi akan memasuki fase emas yang disebut bonus demografi  selama 10 tahun, yang diprediksi akan terjadi pada periode 2020 – 2030 dengan angka dependency ratio berkisar antara 0,4 – 0,5 yang berarti 100 orang usia produktif hanya menanggung 40 – 50 orang usia tidak produktif.  Menurut BPS Kota Pontianak berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010, total populasi Pontianak adalah sebanyak 550.297 orang dan total 68 %  diisi oleh penduduk usia produktif  antara 15-64 tahun. Puncaknya akan terjadi pada tahun 2020-2030 angka usia produktif akan meningkat tajam mengingat 28,11%  dari total populasi Pontianak di tahun 2010 datang dari usia 0-14 tahun yang pada periode 2020-2030 akan beranjak ke usia produktif ditambah lagi urbanisasi penduduk usia produktif dari daerah lain yang akan menambah jumlah angkatan kerja.   Dengan kata lain, pada periode 2020-2030, Pontianak memiliki momentum untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonominya pada titik tertinggi yang pengaruh kesejahteraannya dapat terasa hingga puluhan tahun mendatang.

                                     Sumber : http://pontianakkota.bps.go.id/
Inilah fase yang disebut sebagai window of opportunity (jendela kesempatan)saat jumlah penduduk produktif  yang banyak itu dapat diakumulasikan untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi angka kemiskinan di kota pontianak karena meningkatnya total investasi & saving yang akan berdampak pada terdistribusinya kesejahteraan dalam skala komunal serta dapat dinikmati dalam jangka panjang. Namun, periode emas pertumbuhan ekonomi tahun 2020-2030 hanya dapat terpenuhi jika ketersediaan lapangan kerja dan kesiapan skill lumbung populasi usia produktif tersebut  dapat diberdayakan dan berkompetisi.

Dapat dibayangkan jika sebagian besar penduduk usia produktif pada tahun 2020, yang diperkirakan mencapai 80% dari total populasi tidak memiliki skill yang memadai dan tidak memiliki pekerjaan atau sulit berwirausaha maka window of opportunity yang tadinya menjadi sebab kesejahteraan akan berbalik menjadi boomerang dengan terjadinya bencana populasikarena apabila jumlah penduduk usia produktif yang banyak tidak bisa diberdayakan, maka akan meningkatkan angka kemiskinan struktural yang juga berefek sosial sehingga rawan konflik dan memicu angka kriminalitas serta hilangnya momentum untuk meraih kesejahteraan.

Kemiskinan struktural terjadi bukan karena ketidakmampuan individu untuk merubah hidupannya kearah yang lebih baik tapi dikarenakan adanya kesulitan memperoleh pekerjaan dan akses terhadap permodalan & sumberdaya bahan baku akibat kebijakan pemerintah yang tidak efektif dan efisien. Seperti yang pernah ditulis oleh peraih Nobel ekonomi dari India yang juga pengagas IPM untuk mengukur kemajuan suatu negara, Amartya Sen (Development as Freedom, 1996), “kelaparan dan kemiskinan di negara berkembang terjadi bukan karena tidak tersedianya bahan makanan, tetapi karena masyarakat tidak memiliki kebebasan dalam memperoleh akses itu”. Akibatnya, masyarakat kemudian terjebak pada "ketidakberuntungan ganda" (coupling disadvantage) antara kemiskinan dan hilangnya hak-hak sosial, politik dan ekonomi mereka. Hal ini akan menegaskan thesis John Friedman bahwa Kemiskinan adalah suatu fenomena politik.

Untuk mengukur efektifitas kebijakan pemerintah kita dapat melihat Indeks Pembangunan Manusia sebagai indikator kebijakan pemerintah yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Pontianak berdasarkan ranking indeks pembangunan manusia (IPM) Kalimantan Barat tahun 2010 menempati urutan keempat dari 14 Kabupaten/kota. IPM Pontianak pada 2010, menurut ketiga dimensi IPM, ialah angka harapan hidup 67,24 tahun, rata-rata lama sekolah 6,53 tahun dan gross national income per capita at purchasing power parity (PPP) sebesar  625,72 (ribu rupiah). Nilai IPM secara absolut selalu meningkat. Namun jika melihat pencapaian tersebut, laju pertumbuhan pembangunan manusia kita belum secepat yang diharapkan mengingat presisi waktu yang semakin singkat.


Dalam meraih momentum kesejahteraan pada saat terjadi bonus demografi, salah satu solusi yang bisa dilakukan pemerintah kota pontianak adalah menggiatkan kampanye Ekonomi Kreatif dengan mencetak sebanyak mungkin wirausaha baru sebagai pilihan profesi untuk mencari penghasilan yang harus melibatkan beberapa stakeholder yang datang dari Pemerintah, Swasta, Perbankan, Perguruan Tinggi dan Lembaga Sosial. lokomotif ekonomi kreatif akan hadir ditiap kecamatan yang akan dibagi berdasarkan cluster usaha yang akan fokus dibangun, sehingga setiap kecamatan memiliki spesialis industri yang khas yang terdiri dari konveksi, kuliner, pertanian, peternakan dan jasa.

Setiap stakeholder akan memainkan peran berdasarkan ranah kerjanya, Pemerintah kota Pontianak akan bertindak sebagai pembuat kebijakan clustering industri sekaligus mensupport infrastruktur pemasarannya dan mengalirkan bantuan permodalan serta memudahkan akses terhadap bahan baku melalui fungsi regulasinya. Swasta melalui Perbankan  akan menyalurkan dana-dana CSR-nya untuk memberi support permodalan sekaligus menjadi mitra usaha UKM yang akan lahir dari rahim program ekonomi kreatif. Perguruan Tinggi melalui aktivitas pengembangan dan penelitian akan menginovasi setiap aktivitas produksi, manajemen, & pemasaran UKM tersebut sekaligus memberi pelatihan terhadap setiap wirausaha. Sedangkan fungsi lembaga sosial untuk memastikan agar distribusi kesejahteraan merata diseluruh lapisan masyarakat dalam satu kecamatan, sehingga jika masih terdapat kaum Dhuafa maka lembaga sosial ini yang akan merancang program pemberdayaan yang efektif agar kaum dhuafa tersebut bisa juga produktif dan terlibat dalam lokomotif ekonomi kreatif sebagai wirausaha.

Berbagai program ekonomi kreatif sebagai solusi pengentasan kemiskinan struktural dapat terealisasi jika kerjasama antar stakeholder bebas dari aktivitas percaloan proyek yang koruptif . Keinginan kuat dan kesabaran dari semua stakeholder serta fungsi pengawasan dan evaluasi program yang ketat akan menjaga ritme program pengentasan kemiskinan barbasis wirausaha yang memang membutuhkan waktu hingga ketika terjadi Bonus Demografi, Pontianak sudah siap menyambut momentum peningkatan kesejahteraan. Chaos as Normal Order “Ketidakpastian  adalah sesuatu yang pasti”, semua niat baik mendesak untuk direalisasikan.