21 Oktober 2010

Saat menjemput maut

0 comments

Adz-Dzahabi menceritakan bahwa ketika sakaratul maut menghampiri Abdul Malik bin Marwan, ia mendengar tukang cuci dari samping istananya. Ia pun berkata, “Oh, sekiranya aku tukang cuci biasa … Seandainya ibuku tidak melahirkanku … Seandianya aku tidak menjabat khalifah…”
Sa’id bin Musayyab, tabi’in terkemuka, mengatakan , saat mendengar ini, “Alhamdulillah”, Allah telah membuat mereka lari ke kita di saat meninggal, bukan kita yang lari ke mereka”. Kita berlindung kepada Allah dari kehidupan seperti ini, yang membuat kita lengah dan lalai.
Abdul Malik bin Marwan, sewaktu berhasil mengalahkan para penentangnya dan membunuh Mush’af bin Zubair di Irak, membentangkan mushaf di hari ia diangkat menjadi Khalifah. Ia membaca mush’af tersebut, lalu menutupnya kembali seraya berkata, “Ini adalah kali terakhirku denganmu!” Lalu, komentar Ad-Dzahabi dalam siyar A’laamin – Nurbalaa, “Ya Allah, jangan perdayakan kami”.
Bandingkan dengan Sa’ad bin Abi Waqqash, salah seorang yang dijamin masuk surga. Ketika sekarat, ia didatangi oleh anak perempuannya yang menangis dekat kepalanya. “Jangan menangis, putriku. Demi Allah, aku ini termasuk penduduk surga!”, ucapnya. Ia benar … beruntung dan berbahagialah Sa’id! Nabi Shallahu alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa Sa’ad termasuk penduduk surga.
Betapa jauh perbedaan orang itu. Betapa jauh perbedaan akhir kehidupan keduanya. Tak dapat dibandingkan antara keduanya.
Muawiyah bin Abi Sufyan, sang khalifah, sedang sekarat. Ia turun dari singgasananya, menyingkap permadani, dan menyapukan debu ke wajahnya. Allah Ta’ala berfirman :
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan merka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh sesuatu di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan di dunia dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud : 15-16)
Muawiyah melanjutkan, “Aku tidak mempunyai bekal apapun yang lebih ampuh dari Laa ilaaha illallaah Muhammad Rasulullah”. Muawiyah melanjutkan, “Bila meninggal nanti, kafanilah aku dengan gaun yang kuperoleh dari Rasulullah shallahu alaihi wa sallam. Ada botol di ruangan kantor kekhalifahan berisi kuku dan rambut Rasulullah! Taruhlah kuku dan rambut tersebut pada mata dan hidungku”. Ia lalu pergi menghadap Allah.


Harun Ar-Rasyid, menjelang ajalnya datang, mengadkan parade militer. Ia memandangi tentaranya, berdo’a : “Wahai Yang Kekuasaan-Nya tidak lenyap, rahmatilah orang yang kekuasaannya sirna”.
Al-Watsiq, pemangku jabatan khalifah sesudah Al-Mu’tashim, adalah orang yang kejam tidak kenal ampun. Dialah yang memenggal kepala Ahmad bin Nashr All-Khuza’I, ulama masyhur, salah satu pucuk pimpinan Ahlul Sunnah wal Jama’ah dan termasuk ulama terkemuka, serta penulis kitab al-I’tishaam bil-Kitab was-Sunnah.
Ketika itu beliau menghadap Al-Watsiq. Al-Watsiq menyuruhnya mengakui bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk. Akan tetapi, ia menolak, menentang, dan tidak mau menerima. Al-Watsiq maju dengan sebilah pisau kecil, menusukkannya ke dadanya. Ia menyembelihnya seperti menyembelih kambing.
Kemudian, Al-Watsiq pada saat sekarat, sebagaimana dituturkan oleh As-Suyuthi dalam Taariikhul Khulafa’, begitu mereka membaringkannya setelah ia meninggal dan menyerahkan ruhnya kepada Allah, datangnya seekor tikus yang mengambil kedua matanya dan memakannya!” Peristiwa ini dipelihatkan oleh Allah kepada manusia-manusia diktator di dunia ini.
Thawus, ulama Yaman, datangmenghadap Abu Ja’far al-Mansur.Abu Ja’far adalah oran gyang sangat kejam. Ia telah memenggal kepala para raja, pangeran, dan menteri. Ia dalah seorang paling cerdik. Namun, akhirnya pergi juga menghadap Allah. Seekor lalat selalu hinggap di pucuk hidungnya. Ia mengusirnya, namun lalat itu datang lagi.
“Untuk apa Allah menciptakan lalat, wahai Thawus?”, tanya Abu Ja’far. “Untuk menghinakan kesombongan para tiran”, jawab Thawus. Abu Ja’far terdiam. Lalu ia berkata, “Tolong ambilkan tempat tintat itu”. “Tidak.Demi Allah. Kalau yang akan tuan tulis kebathilan, saya tidak akan membantu tuan untuk sebuah kebathilan”, ujar Thawus, seraya meninggalkan Abu Ja’far Al-Mansur.
Begitulah sikap yang ditampilkan para ulama yang bertakwa dihadapan orang-orang lalai. Ibnu Abi Dzi’b didatangi oleh AlMahdi di Masjid Nabawi. Al-Mahdi adalah seorang Khalifah, putra Abu Ja’far al-Manshur. Orang-orang berdiri, kecuali Ibnu Dzi’b. “Mengapa engkau tidak berdiri menyambut kami seperti yang dilakukan orang-orang?”, tanya Al-Mahdi. Ibn Dzi’b menjawab : “Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, sebetulnya saya mau berdiri menyambut. Tapi saya teringat firman Allah, “Yaitu pada hari (ketika) semua orang bangkit menghadap Tuhan seluruh alam”. (Al-Muthafiffin : 6). Karena itulah aku urung berdiri”. “Duduklah! Demi Allah, semua rambut di kepalaku berdiri mendengarnya”, ucap Al-Mahdi.
Abdul Haq al-Isybili menyebutkan bahwa Al-Mu’tashim dijemput kematian. Al-Mu’tashim , penglima militer sekaligus khalifah yang menaklukkan Amuria dengan sembilan puluh ribu prajurit. “Sembilan puluh ribu prajurit bagai singa, kulit mereka matang lebih cepat dari buah tin dan anggur”.
Sebagian para sejarawan mengatakan bahwa ia eprnah meraih lempengan besi lalu menulsikan namanya, karena saking kuatnya. Ia termasuk orang yang paling perkasa. Bahkan seorang ahli hadist berkisah, “Saya menghadap al-Mu’tashim . Ia mengulurkan tangannya kepada saya, lalu berkata, “Aku memintamu, atas nama Allah, untuk menggigit tanganku”. “Saya pun menggigit tangannhya”, lanjut ahli hadist itu. “Demi Allah, gigitanku tidak berbekas pada tangannya”.
Tapi, keperkasaan Al-Mu’tashim itu tidak berdaya saat menghadapi kematian si pemusnah kenikmatan, pemisahkumpulan, dan perampas anak laki-laki dan perempuan. Ajal al-Mu’tashim tiba. “Apakah hari ini aku akan mati?”, tanyanya. “Ya, hari ini Tuan akan mati”, jawab orang-orang. Dia masih sangat muda, baru empat puluh tahun umurnya. Orang mengira ia tidak akan mati sebelum umur tujuh puluh tahun. Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS. al-Hasyr : 18)
Orang-orang asyik bermaksiat hanya akan sadar saat sekarat. Betapa banyak penceramah menyampaikan! Betapa banyak ulama berbicara! Betapa banyak da’i sudah menyerukan. Namun, sebagian baru menjawab ketika nyawanya sudah meregang di dada. Laa illaaha illallaah. Betapa lalainya manusia. Wallahu’alam.
saat menjemput maut/al-qalam

19 Oktober 2010

Sebuah Komitmen

0 comments
Pada Zaman Khalifah Umar Bin Khattab RA, ada seorang pemuda yang berencana untuk melakukan perjalanan jauh. Dia mempersiapkan segala perbekalannya, termasuk unta yang akan digunakan sebagai kendaraannya.

Di tengah perjalanan, ia menemukan sebuah tempat yang ditumbuhi rumput hijau nan segar. Dia berhenti di tempat itu untuk beristirahat sejenak. Pemuda itu kemudian duduk di bawah pohon. Karena terlalu lelah, akhirnya ia tertidur lelap. Saat ia tidur, tali untanya lepas, sehingga unta itu pergi ke sana ke mari. Akhirnya, unta itu masuk ke kebun yang ada di dekat situ. Unta itu memakan tanam-tanaman dan buah-buahan di dalam kebun. Unta itu juga merusak segala yang dilewatinya.

Penjaga kebun adalah seorang kakek tua. Sang kakek berusaha mengusir unta itu, namun ia tidak bisa. Karena khawatir unta itu akan merusak seluruh kebunnya, sang kakek pun membunuhnya. Ketika bangun, pemuda itu mencari untanya. Ternyata, ia menemukan unta itu telah tergeletak mati dengan leher menganga di dalam kebun.

Pada saat itu, seorang kakek datang. Pemuda itu bertanya, "Siapa yang membunuh unta miliku ini?" sang Kakek lalu menceritakan apa yang telah dilakukan oleh unta itu. Karena kuatir akan merusak seluruh isi kebun, maka sang kakek terpaksa membunuhnya. Mendengar hal itu, sang pemuda tak kuasa menahan amarahnya. Saking emosinya, Serta-merta ia memukul kakek penjaga kebun itu. Naasnya, kakek itu meninggal seketika. Pemuda itu amat menyesal atas apa yang diperbuatnya. Pada saat yang bersamaan, datanglah dua orang pemuda yang merupakan anak dari sang kakek tadi. Mengetahui ayahnya telah tergeletak tidak bernyawa dan disebelahnya berdiri pemuda itu, mereka lalu menangkapnya. Kemudian, keduanya membawa sang pemuda menghadap Amirul Mukminin; Khalifah Umar bin Khattab RA.

Mereka berdua menuntut dilaksanakan qishash (hukum bunuh) kepada pemuda yang telah membunuh ayah mereka. Lalu, Umar bertanya kepada sang pemuda. Pemuda itu mengakui perbuatannya. Ia benar-benar menyesal atas apa yang telah dilakukannya.
Umar lalu berkata, "Aku tidak punya pilihan lain kecuali melaksanakan hukum Allah terhadapmu," sang pemuda dengan lapang dada menerima keputusan tersebut. Ia kemudian meminta kepada Khalifah Umar, agar diberi waktu dua hari untuk pulang ke kampungnya, sehingga dia bisa berpamitan kepada keluarga serta bisa membayar hutang-hutangnya. Umar kemudian  berkata, "Hadirkan padaku orang yang menjamin, bahwa kau akan kembali lagi kesini. Jika kau tidak kembali, orang itu yang akan diqishash sebagai ganti dirimu." Pemuda itupun menjawab, "Wahai Amirul Mukminin, Aku orang asing di negeri ini, aku tidak bisa mendatangkan seorang penjamin."

Salah seorang sahabat mulia, ABU DZAR AL-GHIFARI RA (yang ketika itu usianya terkatagori masih muda) secara kebetulan hadir di majlis tersebut. Beliau kemudian berkata, "Hai Amirul Mukminin, ini kepalaku, aku berikan kepadamu jika pemuda ni tidak datang lagi setelah dua hari." Dengan terkejut, Umar berkata, “Apakah kau yang menjadi penjaminnya, wahai Abu Dzar, sahabat Rasulullah?," "Benar, ya Amirul Mukminin," jawab Abu Dzar lantang.

Pada hari yang telah ditetapkan untuk pelaksanaan hukuman qishah, orang-orang penasaran menantikan datangnya pemuda itu. SANGAT MENGEJUTKAN! Dari jauh sekonyong-konyong mereka melihat pemuda itu datang dengan memacu kudanya. Sampai akhirnya, dia tiba di tempat pelaksanaan hukuman. Orang-orang memandangnya dengan takjub. Umar bertanya kepada pemuda itu, "Mengapa kau kembali lagi ke sini Anak Muda, padahal kau bisa menyelamatkan diri dari maut?" Pemuda itu menjawab, "Wahai Amirul Mukminin, aku datang ke sini agar jangan sampai orang-orang berkata, 'tidak ada lagi pemuda yang menepati janji di kalangan umat Ini'. Dan agar orang-orang tidak mengatakan, 'tidak ada lagi Pemuda sejati nan kesatria yang berani mempertanggungjawabkan perbuatannya di kalangan umat ini"

Lalu, Umar melangkah ke arah Abu Dzar Al-Ghiffari dan berkata, "Dan kau wahai Abu Dzar, bagaimana kau bisa mantap menjamin pemuda ini, padahal kau tidak kenal dengan pemuda ini?" Abu Dzar menjawab, "Aku lakukan itu agar orang-orang tidak mengatakan bahwa tidak ada lagi Pemuda jantan yang bersedia berkorban untuk saudaranya seiman dalam umat ini."

Mendengar itu semua, dua orang pemuda anak kakek yang terbunuh pun ikut berkata, "Sekarang tiba giliran kami, wahai Amirul Mukminin, kami bersaksi di hadapanmu bahwa pemuda ini telah kami maafkan, dan kami tidak meminta apa pun darinya! Tidak ada yang lebih utama dari memberi maaf di kala mampu. Ini kami lakukan agar orang tidak mengatakan bahwa tidak ada lagi pemuda yang berjiwa besar, yang mau memaafkan saudaranya di kalangan umat ini.”

2 Oktober 2010

Arti Nama-nama bulan Hijriyyah

0 comments
Kalender Islam menggunakan peredaran bulan sebagai acuannya, berbeda dengan kalender biasa (kalender Masehi) yang menggunakan peredaran matahari.
Penetapan kalender Hijriyah dilakukan pada jaman Khalifah Umar bin Khatab, yang menetapkan peristiwa hijrahnya Rasulullah saw dari Mekah ke Madinah.
Kalender Hijriyah juga terdiri dari 12 bulan, dengan jumlah hari berkisar 29 - 30 hari. Penetapan 12 bulan ini sesuai dengan firman Allah Subhana Wata'ala: ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS : At Taubah(9):36).
Sebelumnya, orang arab pra-kerasulan Rasulullah Muhammad SAW telah menggunakan bulan-bulan dalam kalender hijriyah ini. Hanya saja mereka tidak menetapkan ini tahun berapa, tetapi tahun apa. Misalnya saja kita mengetahui bahwa kelahiran Rasulullah SAW adalah di tahun gajah.
Abu Musa Al-Asyári sebagai salah satu gubernur di zaman Khalifah Umar r.a. menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Khalifah Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat senior waktu itu. Mereka adalah Utsman bin Affan r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., Abdurrahman bin Auf r.a., Sa’ad bin Abi Waqqas r.a., Zubair bin Awwam r.a., dan Thalhan bin Ubaidillah r.a. Mereka bermusyawarah mengenai kalender Islam. Ada yang mengusulkan berdasarkan milad Rasulullah saw. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Muhammad saw menjadi Rasul. Dan yang diterima adalah usul dari Ali bin Abi Thalib r.a. yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Yatstrib (Madinah).
Maka semuanya setuju dengan usulan Ali r.a. dan ditetapkan bahwa tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada masa hijrahnya Rasulullah saw.
Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender hijriyah ini diambil dari nama-nama bulan yang telah ada dan berlaku di masa itu di bangsa Arab.
Orang Arab memberi nama bulan-bulan mereka dengan melihat keadaan alam dan masyarakat pada masa-masa tertentu sepanjang tahun. Misalnya bulan Ramadhan, dinamai demikian karena pada bulan Ramadhan waktu itu udara sangat panas seperti membakar kulit rasanya. Berikut adalah arti nama-nama bulan dalam Islam:
MUHARRAM, artinya: yang diharamkan atau yang menjadi pantangan. Penamaan Muharram, sebab pada bulan itu dilarang menumpahkan darah atau berperang. Larangan tesebut berlaku sampai masa awal Islam.
SHAFAR, artinya: kosong. Penamaan Shafar, karena pada bulan itu semua orang laki-laki Arab dahulu pergi meninggalkan rumah untuk merantau, berniaga dan berperang, sehingga pemukiman mereka kosong dari orang laki-laki.
RABI'ULAWAL, artinya: berasal dari kata rabi’ (menetap) dan awal (pertama). Maksudnya masa kembalinya kaum laki-laki yang telah meninqgalkan rumah atau merantau. Jadi awal menetapnya kaum laki-laki di rumah. Pada bulan ini banyak peristiwa bersejarah bagi umat Islam, antara lain: Nabi Muhammad saw lahir, diangkat menjadi Rasul, melakukan hijrah, dan wafat pada bulan ini juga.
RABIU'ULAKHIR, artinya: masa menetapnya kaum laki-laki untuk terakhir atau penghabisan.
JUMADILAWAL nama bulan kelima. Berasal dari kata jumadi (kering) dan awal (pertama). Penamaan Jumadil Awal, karena bulan ini merupakan awal musim kemarau, di mana mulai terjadi kekeringan.
JUMADILAKHIR, artinya: musim kemarau yang penghabisan.
RAJAB, artinya: mulia. Penamaan Rajab, karena bangsa Arab tempo dulu sangat memuliakan bulan ini, antara lain dengan melarang berperang.
SYA'BAN, artinya: berkelompok. Penamaan Sya’ban karena orang-orang Arab pada bulan ini lazimnya berkelompok mencari nafkah. Peristiwa penting bagi umat Islam yang terjadi pada bulan ini adalah perpindahan kiblat dari Baitul Muqaddas ke Ka’bah (Baitullah).
RAMADHAN, artinya: sangat panas. Bulan Ramadhan merupakan satu-satunya bulan yang tersebut dalam Al-Quran, Satu bulan yang memiliki keutamaan, kesucian, dan aneka keistimewaan. Hal itu dikarenakan peristiwa-peristiwa peting seperti: Allah menurunkan ayat-ayat Al-Quran pertama kali, ada malam Lailatul Qadar, yakni malam yang sangat tinggi nilainya, karena para malaikat turun untuk memberkati orang-orang beriman yang sedang beribadah, bulan ini ditetapkan sebagai waktu ibadah puasa wajib, pada bulan ini kaurn muslimin dapat rnenaklukan kaum musyrik dalarn perang Badar Kubra dan pada bulan ini juga Nabi Muhammad saw berhasil mengambil alih kota Mekah dan mengakhiri penyembahan berhala yang dilakukan oleh kaum musyrik.
SYAWWAL, artinya: kebahagiaan. Maksudnya kembalinya manusia ke dalam fitrah (kesucian) karena usai menunaikan ibadah puasa dan membayar zakat serta saling bermaaf-maafan. Itulah yang mernbahagiakan.
DZULQAIDAH, berasal dari kata dzul (pemilik) dan qa’dah (duduk). Penamaan Dzulqaidah, karena bulan itu merupakan waktu istirahat bagi kaum laki-laki Arab dahulu. Mereka menikmatmnya dengan duduk-duduk di rumah.
DZULHIJJAH artinya: yang menunaikan haji. Penamaan Dzulhijjah, sebab pada bulan ini umat Islam sejak Nabi Adam as. menunaikan ibadah haji.
(sa/kaskus/bdm.am.ac/imerzone)