28 Oktober 2017

Internet Membikin Bodoh

0 comments
Terlalu banyak baca informasi tanpa filter di internet bisa bikin saya bodoh.
Alasannnya :
Pertama, informasi terlalu banyak. Nalar tidak sempat memilah informasi yang penting dan tidak penting. Kebanyakan teks yang tersebar dangkal wabil khusus tipe informasi yang click bait. Ini menurunkan daya nalar.
Kedua, karena acak dan berjubelnya informasi yang terserap membuat kita tidak sempat merenungi teks yang ada. Tidak ada kesempatan buat mencerna informasi berdasarkan basis pengetahuan kita sebelumnya. Belum lagi jika tipe informasi yang provokatif, udah nggak sempat mikir malah bikin pembacanya reaktif.
Ketiga, otak menjadi lelah dan merasa tahu banyak. Gejala ini pada saat yang sama menurunkan minat baca buku yang terstruktur teori dan argumentasinya. Bayangkan situasinya, minat baca buku yang tersistematis berkurang tapi kecendrungan orang beropini kian gencar.
Keempat, silahkan tambah sendiri.

22 September 2017

Greget

0 comments
Mengalami greget adalah jalan untuk menginsyafi diri dari jerat-jerat malu yang tidak pada tempatnya. Berangkat dari persepsi itu, Fredo melakukan aksi-aksi greget yang menerabas sekat mental untuk berkehendak merdeka.

Di salah satu SPBU Jogja, Fredo menuntun motornya untuk diisi bensin jenis pertamax. Kepada petugas SPBU ia menyodori "angka gereget", minta diisikan petamax setara 500 perak. Permintaannya itu membikin petugas SPBU melongo sejenak. Nalarnya terkejut mencerna situasi. Tak berhenti di situ, Fredo menambah kaget petugas ketika meminta struk pengisian pertamax senilai 500 perak itu.

Pernah pula dalam perjalanannya di atas kereta api, Fredo nekat mencolok rice cooker ke saluran listrik dekat tempatnya duduk. Sebelumnya ia mondar mandir ke WC untuk mencuci beras. Tentu saja mengundang perhatian orang banyak. Mungkin ia sengaja. Karena greget itu adalah tindakan ekstrim yang perlu disaksikan banyak orang. Peristiwa itu dengan cepat terendus oleh petugas yang bergegas ke tempat Fredo memasak nasi untuk mencegah. Dengan santai, Fredo berkilah tak ada himbauan larangannya.
Fredo bebas dan boleh menyelesaikan "ritual memasaknya". Semenjak itu terbit larangan resmi menggunakan fasilitas listrik kereta api untuk keperluan memasak.

Di Bandara Changi Singapura, Fredo melakukan aksi yang serupa : memproses makanan. Kali ini ia tidak memasak nasi, tapi mie instan. Ia mengambil air di WC kemudian membawanya ke sudut ruang tunggu luar, mengeluarkan kompor portable beserta panci kecil. Ia melakukan aksi merebus mie instan kelas mancanegara di sebuah bandara internasional yang terkenal ketat. Harusnya Fredo diganjar hadiah dari korporasi besar mie instan atas iklan fenomenalnya itu.

Gendeng!
Bikin geleng-geleng kepala!

Mungkin demikian kesan orang yang menyaksikan. Tapi adakah yang salah dari tindakan Fredo itu?

Ia telah menunaikan terapi mental paling ampuh untuk menjadi manusia merdeka dengan mengalami greget.

Fredo pernah berujar, sensasi yang paling ekstase kala kita berjalan jauh sendirian adalah merasa asing, tersesat dan hilang. Tertimbun dalam hingar bingar tempat yang berisi kerumunan manusia dengan tampilan fisik yang beda dan bahasa yang sulit dimengerti.

Dengan begitu, insting kita untuk survive terasah dan terdorong untuk bertindak greget. Seperti misalnya meminta tumpangan. Membangun kontak dengan orang yang baru dikenal. Itu mungkin paling sederhana.

Saya teringat dengan cerita seorang kawan yang berangkat dari Jogja ke Jakarta dengan bus tanpa keluar sepeserpun ongkos transportasi. Caranya ia naik ke bus untuk terus bergerak. Setiap kali ada permintaan menunjukkan karcis, ia jujur mengatakan tak ada uang. Hasilnya, Ia langsung diturunkan di tengah jalan. Kemudian dia melambai ke bus berikutnya, naik ke bus, tak menunjukkan karcis lalu diturunkan. Begitu berulang seterusnya hingga ia sampai ke Jakarta tanpa keluar ongkos transportasi.

Adakah pengalaman greget kalian?
Atau hendak melakukan aksi greget ketika ingin meminang angin pujaan hujan? Eh bukan ding. Itu judul lagu Payung Teduh. Yang benar, mengalami greget ketika meminang gadis pujaan hati.

Syahdan, seorang bujang berhati lurus di sepanjang tepian sungai kapuas mau menggenapi separuh agama. Ia menuju sebuah desa yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Alamat seorang gadis yang memikat hatinya. Dengan keterangan seadanya, setelah sempat tersesat ia tiba di sebuah rumah dengan halaman asri yang luas. Itu alamat yang ia tuju.

Mengetuk rumah, dipersilahkan masuk, ia mengenalkan diri sekaligus memberi pengantar pembicaraannya. Intinya pada percakapannya berikut. Bujang saya singkat B, Bapak kepala keluarga, ayah si gadis saya singkat A.

B : Jadi Pak, saya hendak memperistri anak Bapak.
A : Saya tergantung anak saya. Oh iya aktivitas sehari-hari Ananda apa?
B : Saya aktivis mahasiswa Pak.
A : Ananda bekerja?
B : Saya belum ada pekerjaan tetap Pak. Tapi siap lahir batin untuk tetap bekerja apapun ladangnya selama halal.
A : Kalau Ananda belum ada pekerjaan, bagaimana Ananda memberi makan keluarga?
B : Bapak biasanya kasih makan anak bapak apa? Kalau diberi nasi, saya siap memberi makan nasi.

Tawa Bapak Si Gadis pecah terpingkal-pingkal. Tergelitik lucu oleh jawaban Si Bujang. Ternyata substansi obrolan itu bukan mengukur kemampuan materi tapi menguji kapasitas mental calon menantu. Lamaran si Bujang diterima.