21 Juni 2014

Kopral Mamad

0 comments
Mamad, kopral bergaji UMR. Telah beristri satu & beranak tiga. Anaknya masih kecil semua dan sedang lucu-lucunya. Ketika lagi asyik bercengkrama dgn anak-anak, panggilan tugas datang. Sebagai prajurit tamtama berpangkat rendah, mengharuskannya berada di garda terdepan meredam massa yg dtg bergelombang dan ingin merengsek ke pusat pemerintahan eksekutif & legislatif.

1998, Waktu itu krisis ekonomi sudah menjalar. Harga sembako naik. Mamad lupa bertanya pada istrinya akan stok beras dirumahnya. Lupa pula bertanya akan persediaan susu anak dirumahnya. Panggilan tugas yg tiba-tiba membuatnya lupa bertanya pada istrinya.

Sewaktu itu tlp genggam hanya milik org kaya. Ukurannya pun sebesar bata. Prajurit yg bertugas tak punya celah menjalin kontak dgn keluarga. Sehingga tiap kepergian menunaikan tugas, meski tidak jauh selalu menjadi pristiwa dramatis yg mengharukan. "Lebih baik pulang hanya dgn nama dibanding gagal dalam tugas" adagium keprajuritan yg menjelaskan bahwa mereka rela mati demi tugas.

Mamad berangkat dgn gelisah dan risau. Dia berulang kali menyesal lupa mengecek sisa kebutuhan dapur. Uang yg ditinggalkan utk istrinya pun tak seberapa. Dan memang hanya itu yg bisa ia tinggalkan. Tiap jelang akhir bulan kayak sekarang, Mamad terbiasa kehabisan gaji dan makan seadanya dgn istri dan anak-anaknya. Jikapun benar-benar habis, Mamad yg bertugas di Babinsa bisa bekerja serabutan dgn menjadi kuli bangunan dadakan membantu pembangunan rumah warga. Tak seberapa hasilnya tapi cukup utk sekedar mengganjal kebutuhan perut keluarga prajurit kecil yg tinggal di Asrama tentara hingga hari gajian tiba.

Huru-hara waktu itu semakin menjadi. Gelombang demonstrasi mahasiswa utk menuntut Pak Harto mundur kian membesar. Kini warga yg selalu apatis juga turut serta. Sebagian aktivitas lumpuh. Semua alat negara dikerahkan. Sudah berhari-hari ia bertugas meredam massa tapi belum ada tanda-tanda massa ingin mundur. Naluri keprajuritan Mamad membaca tanda-tanda revolusi rakyat. Seperti yg terjadi di Filiphina. Tapi yg lbh mengkhawatirkannya lagi jika menjadi martir dan alat bagi hasrat jendral berbintang utk kudeta. Ia tak tega mengkhianati bangsa dan rakyat yg dicintainya kala itu. Tapi sumpah prajurit mengharuskannya tunduk pada komando atasan. Cepat-cepat ia hapus lintasan pikiran menakutkan itu.

Esoknya Mamad berjaga dlm keadaan lapar, ia tak makan banyak. Pikirannya sesak oleh banyak hal. Masa depan Indonesia & keadaan keluarganya dirumah. Ini sudah sepekan ia bertugas. Siang terik matahari membakar. Tenggorokan Mamad kering. Makin lengkap sudah derita yg harus ditahan hingga situasi kondusif dan prajurit dibolehkan makan dan minum. Gelombang demonstrasi baru datang. Kali ini Mahasiswa yg datang dgn angkuh. Mamad sepintas melirik atribut yg dikenakannya tertulis Forkot. Gerakan mahasiswa yg oleh komandannya patut diwaspadai karena sikap agitatif dan anarkis dlm setiap aksinya.

Seorang mhasiswa forkot dgn megaphone maju kedepan barisan prajurit kopral memberi orasi. Isinya makian kpd Soeharto dan kroni-kroninya. Mahasiswa dgn angkuh juga menghina para prajurit dgn sebutan bandit dan jongos koruptor cendana.

Tak hanya berhenti mencaci dlm orasi. Kerumunan mahasiswa forkot makin provokatif dgn membakar ban tepat dibawah sinar matahari yg menyengat. Asap membumbung. Udara tak sehat. Prajurit mundur selangkah. Barisan mahasiswa bergandengan tangan mendekati pasukan. Mereka mendorong terus memprovokasi berusaha menerobos barikade tentara yg berjaga. Sumpah serapah, makian keluar dari mulut mahasiswa forkot.

Terik panas, asap pekat dari ban, rasa lapar & haus, pikiran akan stok kebutuhan pangan dirumah, kelelahan, serta makian, orasi provokatif dan agitasi mahasiswa angkuh melengkapi derita para prajurit kopral yg mengenaskan luar dalam.

Dooor.....!!!!

Suara tembakan memekakan telinga. Mamad dgn mata berair krn asap melihat satu mahasiswa limbung jatuh diterjang peluru yg menembus dadanya. Darah segar mengalir. Seketika semua membisu. Mamad melihat rekannya yg melepaskan tembakan. Ia kenal rekannya itu. Namanya Amir. Istrinya dirumah sakit. Anaknya baru saja wafat karena DBD. Itu Amir yg kemarin sempat curhat kepadanya atas perasaan kehilangan yg sangat.

Dan seketika dunia menghakimi tentara. Kopral riwayatmu kini.

TNI sering dipropagandakan tak netral dan represif oleh media. Tapi media yg paling sering melacurkan diri pada kepentingan politik tertentu. Baga!