31 Juli 2011

Do'a Anak-Anak Gaza

0 comments
(Puisi ini pernah dibacakan dalam Konferensi Internasional Pengajar Bahasa Arab Dunia Islam, di Universitas Al Azhar Indonesia, Juli 2010. Dibacakan kembali pada acara Asia-Pacific Community Conference for Palestine di Jakarta, 29 Juni 2011)




Tuhan
Pagi ini kami ingin sekolah
Kami rindu pada madrasah kami yang indah
Kami rindu pada cerita Lubna dan Antarah
Tentu juga Sirah Rasulillah

Pagi ini kami ingin secuil roti
Kami ingin sepotong keju
Setetes susu
Dan sebutir Tin dan Zaitun

Pagi ini kami ingin belaian cinta
Ayah kami tercinta
Paman kami tercinta
Kakek kami tercinta

Pagi ini kami ingin matahari
Yang cerah menyinari gaza
Dan mengusir segala kecemasan jiwa

O Tuhan, apakah mereka akan merampas juga
Matahari kami, atau menutup Gaza
Tanpa matahari
Sehingga tak ada lagi pagi bagi kami

Tuhan
Biarlah mereka mengucilkan kami dari dunia
Asal setiap pagi
Kau masih tersenyum pada kami
Dunia tidak penting lagi bagi kami

Tuhan
Kami tidak pernah mengemis kemerdekaan pada siapapun
Karena kami telah memiliki kemerdekaan itu
Setiap kami menyebut nama-Mu
Dan setiap kami rukuk dan sujud kepada-Mu

Tuhan ini pagi ini kami tetap tersenyum kepada-Mu
Maka tersenyumlah kepada kami

30 Juli 2011

Fasilitas AFLAT Granada

1 comments
Perangkat belajar Peserta AFLAT yg terdiri :
1. Buku Bahasa arab indah dan mudah
2. Buku Percakapan Laa Tasqut
3. Kartu Bahasa Arab
4. CD Kompilasi
5. Stiker dan Pin Granada Institute

28 Juli 2011

Ta'aruf Dengan AFLAT dan Granada Institute

0 comments
Kita semua bergerak kesana, kepada sebuah tujuan untuk kebangkitan islam... membina diri kita, keluarga kita, orang-orang disekitar kita, serta memperbesar kapasitas diri kita untuk siap menjadi bagian dari kegemilangan islam masa depan. Dalam bergerak kita semua berada dalam rel  berupa strategi dakwah yang disebut manhaj atau Thoriqoh, dan proses pengumpulan dalil yang shahih, pertimbangan realitas sejarah, serta hasil ijtihad jama’ai oleh orang-orang berilmu menjadi bahan dasar kajian yang diformulasikan oleh gerakan-gerakan dakwah untuk menetapkan manhaj atau thatiqohnya tadi...dan setiap kita wajib menghormati jalan dakwah yang telah ditetapkan oleh gerakan-gerakan dakwah yang ada.

Kita meyakini bahwa ada banyak kapasitas yang harus dibangun dalam setiap pribadi-pribadi yang berhimpun dalam gerakan dakwah agar bisa merepresentasikan cita-cita luhurnya yakni : kebangkitan islam! dan semua sepakat bahwa kemampuan standar yang harus dimiliki oleh setiap da’i atau aktivis gerakan islam adalah kemampuan berbahasa arab, tidak perlu ahli, tapi bisa dan mengerti berbahasa arab. Dan islam butuh banyak sumberdaya muslim yang mau, sedang belajar ataupun bisa berbahasa arab untuk menjalankan tugas mulia kebangkitan islam.

Granada Institute mempersembahkan AFLAT
Ternyata Menguasai Bahasa Arab InsyaAllah mudah

Granada Institute adalah sebuah komitmen untuk berkontribusi secara serius pada kebangkitan Islam di masa datang. Karena diyakini bahwa masa depan umat manusia akan berada dalam genggaman Islam. Sementara Islam identik dengan bahasa Arab.

Granada intitute bersama Lisanul Arab Bogor mengembangkan metode yang memadukan temuan-temuan dari para praktisi bahasa Arab di Indonesia, termasuk menjadikan bahan-bahan mereka sebagai rujukan, seperti Metode Ust H Aminuddin Saleh Bandung, Ust Ir Syamsuddin Bogor, dll. Disamping bahan-bahan dari materi ajaran bahasa Arab yang populer lainnya seperti Al Ajurumiyyah dlsb. Granada Institute hadir guna menyederhanakan semua bahan itu dan dipadukan menjadi formula yang unik.

Granada Institute mempersembahkan AFLAT sebagai solusi bagi kesulitan berbahasa Arab yang dialami kebanyakan masyarakat kita selama ini.

AFLAT adalah akronim dari Amazing Arabic Flash Training. Karena secara menakjubkan metode ini dapat membuat setiap orang yang mengikutinya, seketika:
1. Dapat memahami kunci-kunci pokok yang perlu diketahui dari bahasa Arab
2. Memiliki rasa percaya diri dan optimisme yang besar bahwa bahasa Arab akan dikuasai

AFLAT dalam bahasa Arab (أَفْلَتَ) juga berarti membebaskan dan melepaskan. Dan memang termasuk misi utama AFLAT adalah melepaskan diri dari kekaburan akan pemahaman bahasa Arab dan membebaskan diri dari sikap masa bodoh terhadap bahasa Arab. أفلت juga memiliki kesamaan akar kata dengan اِفْتَلَتَ الكَلاَمُ yang berarti bicara lepas tanpa persiapan terlebih dahulu. Diharapkan kader-kader terbaik AFLAT akan mampu berbicara dalam bahasa Arab walaupun tanpa persiapan.

AFLAT dirintis sejak tahun 1998 di Bandung dan dari waktu ke waktu terus mengalami perbaikan setelah melakukan evaluasi dan menerima masukan dari berbagai pihak baik langsung maupun tak langsung. Beberapa daerah yang pernah menjadi tempat pematangan dan juga kegiatan Training metode AFLAT ini adalah Makassar, Aceh, Balikpapan, Samarinda, Banjarmasin, Berau, Padang, Medan, Batam, Palembang, Bangka, Riau, Bandung, Cirebon, Bogor, Bekasi, Banten, Jogja, Surabaya, Malang, Jakarta, dan Bali

AFLAT, setelah kurang lebih 10 tahun berbenah, atas dukungan dan masukan dari banyak pihak kini alhamdulillah telah menemukan kematangan konsepnya. Dan Alhamdulillah, kini AFLAT telah ditangani dengan Manajemen Profesional Granada Institute.

AFLAT hadir dengan menawarkan metode yang unik dalam segala aspeknya. Beberapa keunikan AFLAT, di antaranya:

1. Menyajikan PROGRAM BAHASA ARAB MOTIVATIF.
Di point ini, AFLAT sengaja ingin membongkar sikap mental setiap orang terhadap dan tentang bahasa Arab. Segala anggapan keliru, kesalahpahaman, dikotomi, dan sikap tak proporsional lainnya terhadap bahasa Arab, seperti penyebutan bahasa Arab sebagai bahasa Asing dan oleh karenanya maka tentu sulit dipelajari, ini dikupas tuntas dan dibalikkan menjadi positif thinking.
Disamping itu, kegiatan training yang dikemas secara tidak biasa, yakni dipadukan dengan hiburan edukatif akan membuat peserta merasa enjoy sepanjang mengikutinya.

2. Menyajikan metode pelajaran yang bisa mengatasi kendala teknis (RINGKAS & CEPAT, METODE HAFALAN YANG UNIK, KONTINUITAS FOLLOW UP, DLL).
Maksud dari point ini, AFLAT mengetengahkan sistem bimbingan yang mencoba keluar dari pola-pola konvensional yang membuat banyak orang selama ini sering putus harapan dari belajar bahasa Arab, seperti kerumitan metode penghafalan, kesulitan mencari buku pedoman yang betul-betul praktis, begitu lamanya waktu yang dibutuhkan baru dapat mengetahui goal setting ataupun peta pemahaman dari bahasa Arab. AFLAT ingin mempersembahkan metode belajar bahasa Arab yang bisa diikuti oleh siapa saja, dari kalangan mana saja untuk berbagai lapisan sosial masyarakat, dan dari back ground pendidikan apa saja. Karena bahasa Arab memang untuk semua orang dan bahasa Arab diperlukan semua orang.

3. Program pengembangan bahasa Arab berkelanjutan tiada henti dengan 2 tahap: Tahapan Pembelajaran dan Tahapan Pembudayaan.
Dalam konteks ini, AFLAT telah menemukan formula berupa teknik untuk mengatasi kendala pengembangan kemampuan bahasa Arab. Tak sedikit orang yang sudah pernah belajar bahasa Arab tapi selalu merasa bahasa Arabnya tak berkembang dengan berbagai alasan. Maka AFLAT merasa bertanggung jawab untuk memberikan solusi atas seluruh peserta untuk terus dapat terjaga suasana kebahasaarabannya sepanjang waktu.

AFLAT memiliki motto ”Ternyata Menguasai Bahasa Arab Semudah Membalikkan Telapak Tangan” dan juga motto ”AFLAT, Membawa Anda untuk Lebih dari Sekedar Bisa Berbahasa Arab”.

AFLAT memiliki impian besar bahwa suatu saat kelak bahasa Arab akan menjadi trend setter bahasa dunia. Di situlah urgensi peran yang akan diambil oleh AFLAT. Atau AFLAT-lah yang malah akan mengarahkan masyarakat untuk menjadikan bahasa Arab sebagai trend masa datang. AFLAT begitu optimis bahwa bahasa Arab akan menjadi bahasa masa depan, sebagaimana yakinnya AFLAT akan masa depan umat manusia yang akan berada dalam naungan cahaya kepemimpinan Islam. Sementara, bahasa Islam adalah bahasa Arab.

7 Juli 2011

Ku Repost tulisan ini karena isinya "mengaduk-ngaduk" perasaan Pembaca

2 comments
Mengingatmu, Mengenangmu
Oleh : Ustad Herry Nurdi


Tahukah kau
Semalam tadi aku menangis
Mengingatmu mengenangmu
(Menangis Semalam, Audy)

Sengaja saya mengutip penggalan bait dari lagu Audy yang berjudul Menangis Semalam. Lagunya sebenarnya tentang cinta, dan saya sebenarnya tidak pernah menikmati lagu-lagu seperti ini. Hanya sepintas saja, ketika mendengarnya di siaran televisi, atau radio ketika berkendara menembus kemacetan Jakarta.

Tapi semalam, tiba-tiba lagu ini muncul dalam otak saya, mengalun seperti menjadi soundtrack ketika saya membaca sebuah artikel dalam sebuah buku. Lagu ini muncul tidak secara utuh, hanya bagian di atas saja.

Tahukah kau
Semalam tadi aku menangis
Mengingatmu mengenangmu

Lalu saya mengangkat tangan dan berdoa, untuk seorang sahabat yang sangat saya rindukan, tapi dalam waktu dekat, mustahil untuk bertemu. Entah kapan, saya berdoa pada Allah untuk dipertemukan dengannya, di tempat yang sangat mulia dan dalam kondisi yang sangat bercahaya.

Buku yang saya baca berkisah tentang seorang anak muda, yang sedang menunggu adzan Subuh di Masjidil Haram. Dia membaca al Qur’an setelah menunaikan shalat malam. Lalu tibalah adzan Subuh berkumandang. Diletakkannya al Quran dan dia maju mengisi shaff kosong untuk mendirikan shalat qabliyah Subuh yang menurut Rasulullah saw, berbobot lebih berat dibanding dunia dan seisinya. Rasulullah begitu mengistimewakan shalat dua rakaat sebelum Subuh ini. Dari Aisyah, beliau mengatakan mengatakan, ”Tidak pernah Rasulullah saw sangat mewanti-wanti (sangat perhatian) atas sesuatu yang sunat melebihi pada dua rakaat qabla subuh." Sahih Al-Bukhari, I : 393, Sahih Muslim, I : 501

Bahkan, Rasulullah sendiri pernah mengatakan, dari Ibnu Sailan dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah saw. telah bersabda, ”Janganlah kalian meninggalkan dua rakaat qabla Subuh walaupun seekor kuda mencampakkan kalian". Musnad Ahmad, II : 405, Sunan Abu Daud, II : 20, Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra, II : 470 dan Malik

Kembali pada kisah awal, sang pemuda lalu mendirikan shalat dua rakaat sebelum iqamat. Meski shalat ini dilaksanakan dengan ringan, tapi penuh kekhusyu’an. Usai mendirikan shalat, sang pemuda menunggu iqamat. Dan ketika pemuda ini berdiri untuk mencari shaff yang perlu diisi setelah iqamat dikumandangkan, tiba-tiba dia terjatuh lunglai, lemas tak bertenaga. Jamaah shalat Subuh segera menolongnya, melarikan sang pemuda ke rumah sakit yang tersedia.

Rupanya, sang pemuda mengalami penyumbatan pembuluh darah ke jantung. Fajar itu, ruangan unit gawat darurat sibuk mengambil langkah penyelamatan. Seorang perawat diminta untuk mendampingi sang pemuda, sementara dokter jaga dan spesialis jantung menyiapkan operasi yang mungkin harus diputuskan segera. Tapi tiba-tiba sang pemuda, meminta perawat yang di dekatnya, untuk lebih mendekat lagi. Dibisikkannya sebuah kalimat, lalu sang pemuda memiringkan badannya ke sebelah kanan, pelahan mengucapkan kalimat, Asyhadu allaa ilaaha illallaah, Waasyhadu anna Muhammadan rasuulullaah. Hanya Engkau Tuhan yang patut disembah, dan sungguh aku bersaksi bahwa Muhammad hádala Rasul-Mu yang mulia.”

Begitu saja, lalu sang pemuda menutup mata, napas terakhirnya usai sebelum dokter melakukan apa-apa. Sang perawat bergetar, lututnya tak mampu menahan berat tubuhnya. Ia jatuh terkulai di tepi ranjang. Para dokter sibuk menanyai, tapi tak sepatah kata mampu keluar dari lisannya. Setelah semua tenang, baru sang perawat bisa bercerita, kalimat apa yang dibisikan oleh sang pemuda.

Pada perawat sang pemuda berkata, “Katakan pada dokter, tak perlu susah, ajalku sudah tiba. Dari sini aku bisa melihat tempatku di surga.” Itulah kalimat sebelum dia berbalik kanan dan mengucapkan syahadat dengan tarifan napas terakhir. Kalimat itulah yang membuat lututnya bergetar hebat dan tak bertenaga.

Tahukah kau
Semalam tadi aku menangis
Mengingatmu mengenangmu

Lalu bait lagu itu muncul di dalam otak saya. Mengenang seorang sahabat, yang nyaris sama perjalanan akhir hidupnya. Namanya Dichiya Zoraya, panggilannya Dicky, usianya beberapa tahun di bawah saya. Dia memanggil saya Mas Herry, dan saya memanggilnya adik. Kami bertemu pertama kali dalam sebuah perjalanan umrah di tahun 2002. Dan sejak itu, kami sangat akrab, disatukan oleh banyak kesamaan dan perbedaan.

Salah satu kesamaan kami adalah wisata kuliner, terutama masakan Timur Tengah. Kami menjelajah berbagai rumah makan Timur Tengah yang ada di Jakarta, mulai dari kelas tenda biru, sampai rumah makan mewah. Kesamaan lain, di suka membaca dan belajar. Kami sering bertukar hasil bacaan dan berdiskusi tentang banyak hal. Kesamaan yang lain lagi, kami berdua sangat senang bertemu orang. Dia juga suka menulis. Terakhir Dicky bekerja sebagai salah satu editor penerbit ternama di Jakarta.

Saya membawanya ke dunia baru yang belum dalam dikenalnya. Saya mendorongnya untuk kenal dengan pengajian. Mempromosikan namanya pada sang calon murabbi. Bahkan saya pernah mengajaknya silaturahim ke dalam penjara, menjenguk Ustadz Abu Bakar Ba’asyir di Rumah Tahanan Salemba pada tahun itu. Dia memperkenalkan saya pada dunia yang juga baru. Pada teman-temannya yang gaul pada periode sebelumnya. Pada bahasa-bahasa yang tak pernah saya pahami sebelumnya. Dan dia berniat mewujudkan satu halaqah di kampusnya yang menurutnya sangat borju dan sekuler itu.

Dicky berhasil memprovokasi dan mengumpulkan teman-teman untuk ngaji bersama. Lumayan banyak untuk pertemuan pertama, 15 orang berkumpul di aula. Ia konsisten mengajak teman-temannya untuk turut mengaji bersama, bahkan ketika satu per satu peminat pengajian mahasiswa di kampus ini mundur teratur. Dari 15 orang susut menjadi delapan, lalu empat, lalu tinggal Dicky seorang. Tapi ia tetap datang. Keinginannya untuk ikut mengaji sampai terbawa-bawa dalam mimpi. Karena itu pula saya berusaha untuk membantu Dicky bertemu murabbi.

Empat hari sebelum Dicky meninggal, di bulan Agustus 2006, dia ingin memperkenalkan saya kepada editor-editor lain di tempatnya bekerja. Dan sedang berusaha dan mencoba mempromosikan tulisan-tulisan saya. ”Kita bisa sama-sama memasukkan nilai dakwah nanti, mas,” saya masih ingat betul kata-katanya.

Saya masih ingat senyumnya, tulus sekali. Jika senang, tawanya pecah. Dan setiap kali bertemu, selalu bercerita tentang keponakannya yang lucu-lucu. Setelah lulus dari kampusnya yang pertama, Dicky melanjutkan belajar pasca sarjana di Universitas Indonesia, jurusan Hubungan Internasional. Dan sudah aktif mengaji untuk beberapa lama.

Dari sang murabbi, saya mendengar kisah tentang keshalihan Dicky. Semalam, sebelum meninggal, Dicky masih sempat berkumpul dengan teman-temannya untuk mengaji. Bahkan, ia pulang pukul sepuluh malam. Dan baru saja, di pengajian kecil itu, mereka saling mengevaluasi diri, terutama kualitas ibadah. Sang murabbi kepada saya bercerita, bahwa Dicky menempati ranking pertama dalam muttaba’ah amal. Dalam tiga bulan terakhir, ia tak pernah meninggalkan shalat jamaah, target-target tilawah pun, sempurna. Shalat malam ia kerjakan, puasa sunnah ia tunaikan.

Subuh di hari ia meninggal, ia masih shalat berjamaah di masjid depan rumahnya, di Duren Sawit, Jakarta Timur. Bahkan, setelah Subuh, ia masih menyempatkan untuk tilawah. Kemudian ia jatuh tertidur, dan malaikat menjemputnya dalam keadaan sedang berpuasa sunnah. Saat saya mengangkat jenazahnya, sebelum dimandikan, saya masih melihat bibirnya tersenyum. Saya hanya bisa menyebut, Allah, Allah, Allah, dan menahan tangis dalam dada. Saya mengusap tangannya, mengusap dahinya. Dan itu membuat pundak saya semakin terguncang oleh tangis yang tak tertahan.

Tahukah kau
Semalam tadi aku menangis
Mengingatmu mengenangmu

Semalam saya mengingatnya kembali. Saya menangis dan berdoa. Sangat singkat perjumpaan kami, hanya beberapa tahun saja. Dan semalam sangat merindukannya. Saya merindukan orang-orang muda yang berjerih payah mencari ridha-Nya. Saya merindukan anak-anak muda yang memiliki fikrah jernih, cerdas, sekaligus santun dan penuh sayang pada sesamanya. Saya berdoa kepada Allah, semoga Dicky juga telah melihat tempatnya yang mulia di sisi Allah azza wa Jalla. Dan semoga Allah mempertemukan saya di tempat yang mulia itu, dengan sahabat-sahabat saya yang mulia. Aku rindu padamu, dik! Sangat-sangat rindu.

4 Juli 2011

Resolusi Megatrend Organic

0 comments

Tepat Setahun yg lalu bersama Riyadh Dahda, saya menuliskan sebuah mimpi yg jelas : INGIN BERHAJI....
ketika kami sepakat berazzam untuk melaksanaknnya, hampir tiap Subuh-Pagi dibantu kak Dipa Anggraini Rabbani kami berkililing kompleks UNTAN dan PARIS 1 untuk menjajakn Dagangan kami "Sayur Organik" hingga akhirnya kami bisa mensuplai ke beberapa restoran besar...
Namun, kami bukan tipe pembelajar yg cepat, bukan tipe wirausaha yg bisa beradaptasi dengan berbagai Badai...
Yah Badai Hujan menjadi sebab kebunnya rusak dan mengganggu proses produksi, yg sebenarnya jauh sebelum itu sudah ada sebab kebangkrutan yaitu : KAPASITAS KAMI yg belum Eglible to be Great Entrepreneur
#Ayooo Riyadh...Bangit Bung...!!!! Kau Dimane???!!!


Objek Dakwah Fardiyah

0 comments


Siang ini saat sedang makan di dekat BAAK seorang "sahabat lama" Gusti Jeffy Nugraha menelpon balik dan ingin bertemu...ada banyak hal yg kami bicarakan, saling bertukar cerita tentang bagaimana hidup kami masing-masing saat ini, saling berbagi spirit untuk menjadi lebih baik...Tapi Jauh dilubuk hati saya yg paling dalam...ingin sekali melihat Jeffy dan Riyadh Dahda terseret kedalam Gelombang Tarbiyah, mengkaji islam, saling nasehat menasehati...kapan?

Refleksi Studi

0 comments



Diawal masa kuliah...sama seperti anak cowok yg lainnya, sy juga punya teman se-group yg sering bersama. Ada Iris Lmc, Gusti Jeffy Nugraha, Riyadh Dahda, Ardi Suganda.
Namun kini, semua punya "frekuensinya" masing2...hehehe, Sampai Berjumpa Temans di Puncak Kesuksesan

#Merefleksi kembali perjalanan 3 Tahun Studi, mencoba mendefinisikan "Tujuan" untuk mengambil langkah strategis selma sthn kedepan di thn terakhir InsyaAllah.

Ku-Respost ini ditengah kegalauan ingin Berhaji : LABBAIKALLAHUMMA LABBAIK

0 comments
Oleh : Ustad Herry Nurdi

SEMUA KARENA SEBAB

Namanya Sukerti bin Saiman, dari Lombok Utara. Pada saya beliau bercerita, bahwa desanya adalah salah satu desa yang paling tertinggal baik dari sisi pembangunan maupun ekonomi sosial.

Di desa yang paling tertinggal ini, Pak Sukerti, menurutnya, adalah penduduk paling miskin di antara 300 kepala keluarga. Dia hanya petani lahan kering, bertanam jagung, diselingi kacang atau yang lain.

Tak ada dalam bayangannya untuk bepergian jauh, yang harus mengeluarkan dana dan bekal besar. Tapi hari ini, di sini lah Pak Sukerti, menunaikan Thawaf dan Sai. Bersama jutaan manusia dari seluruh dunia, menunaikan ibadah haji. Bertasbih, bertahmid, bertakbir, memuj sang Ilahi.

Tak ada nalar yang bisa dibangun untuk mencerna ini. Sukerti bin Saiman mencatat sejarah sebagai orang pertama yang menunaikan rukun Islam kelima dari kampungnya. Tak ada orang yang percaya, tapi Allah sudah menciptakan sebab untuknya.

Dari Bandung, beberapa orang tunanetra juga menunaikan ibadah yang sama. Saling tuntun, saling jaga. Terbang dari tempat yang sungguh jauh, tak melihat terang, tapi di saat yang sama justru dilimpahi cahaya-Nya, insya Allah.
Satu di antara mereka adalah Pak Hepi. Sejak mengayunkan langkah pertama kakinya dari pintu rumah, dia sudah membisikkan doa yang penuh pasrah dan iba.

"Ya Allah, tak seperti para hujjaj yang lain, aku tak bisa melihat rumah-Mu yang Agung. Padahal sungguh aku ingin melihatnya. Aku hanya mampu melihat dengan cara meraba. Maka izinkan aku menyentuh dan meraba bangunan-Mu yang mulia," demikian doa Pak Hepi.

Maka disinilah dia. Terseret-seret oleh gelombang manusia yang berthawaf dengan Kabah sebagai pusarannya. Terjungkal-jungkal, terdorong-dorong oleh kekuatan manusia yang bergulung-gulung besarnya. Terjatuh-jatuh, dua kali Pak Hepi tak berkuasa mengendalikan diri. Tapi ketika terbangun, tangannya telah meraba dinding Kabah.

Subhanallah, Maha Suci Allah yang jika telah menghendaki sesuatu terjadi, maka dengan berbagai alasan akan terjadi. Tak ada sesuatu bisa menghalangi, meski alasan-alasan dan sebab sebagai syarat terjadinya sesuatu tak cukup terpenuhi dalam ukuran akal manusia yang lemah ini.

Pak Sukerti, Pak Hepi, termasuk saya adalah satu di antara ratusan orang lain dari seluruh dunia yang menunaikan ibadah haji atas undangan Rabitha Alam Islami. Satu dari sekian sebab yang dijadikan Allah untuk mengantar sesuatu bisa terjadi.

Dia, Allah yang Maha Memiliki, tak pernah kehilangan alasan untuk menciptakan sebab-sebab kejadian. Dia tak pernah kehabisan cara untuk mewujudkan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan manusia. Dan Dia, Allah yang Maha Kuasa, sungguh Maha Mampu menciptakan kausalitas yang tak pernah terbayang oleh manusia.

Maka, jangan pernah hilang harapan. Apapun asa dan hajat kita. Dan jika Dia mampu membuat sesuatu terjadi, beyond reason, maka Dia juga mampu menghentikan apapun yang terjadi juga beyond reason.

Berdoalah, dan jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah SWT. Dengan izin-Nya, dengan kuasa-Nya, Dia mampu mengantar kita untuk datang kerumah-Nya yang agung dan beruluk salam langsung di pusara baginda Rasul.

Pertanyaanya bukan tentang seberapa besar kemampuan kita, tapi tentang seberapa tinggi kemauan hati ini. Sehingga menggerakkan makhluk langit untuk berdoa dan membantu meringankan semua.  Labaik ya Allah, kami akan datang memenuhi panggilan-Mu....

Mina, 19 November 2009
Kedah, 6 November 2010





Saya pernah ke New York yang disebut-sebut oleh penduduk dunia dengan julukan the city that never sleep. Kota ini selalu menyimpan kesibukannya, orang-orang yang mencari hiburan, mengejar perbendaharaan, dikejar tenggat waktu yang tak kenal tapal. Tapi toh, saya menjumpai waktu-waktu lengang di the big apple city ini.

Saya juga pernah ke Jepang, yang juga disebut-sebut manusia sebagai negara yang tak kenal lelah, wabil khusus Tokyo yang nyaris tak memiliki jam kerja. Kita selalu bisa menjumpai lampu-lampu yang menyala di bilik-bilik gedung yang tinggi sebagai tanda selalu ada orang-orang yang mengejar pencapaiannya. Perempatan jalan yang selalu riuh ketika lampu berwarna merah dan tanda pejalan kaki beroperasi dengan sempurna. You named it, jam berapa, hari apa, Tokyo selalu berdetak jantungnya. Tapi saya juga menjumpai, ada detik-detik panjang yang sepi di beberapa bagian kota ini.

Saya juga pernah menginjakkan kaki di London, ibukota Inggris Raya yang masuk sebagai kota-kota besar di dunia. Hiburan, pekerjaan, kesibukan tak pernah absen di kota yang telah tua ini. London telah menjadi saksi tentang sejarah betapa sibuknya manusia. Tapi, sekali lagi, ada kalanya kota ini menghela napas panjang dari berbagai kepenatan.

Hari ini, untuk kesekian kalinya saya menginjakkan kaki di tanah haram, Makkah al Mukaramah, kota suci ini benar-benar tak kenal jeda. Khususnya waktu-waktu seperti ini, ketika Ramadhan tiba. Di seluruh sudut kota, di sepanjang jalan yang meruasinya, selalu ada manusia. Bukan dalam hitungan puluhan atau ratusan, juga bukan dalam hitungan puluhan ribu atau ratusan ribu, tapi berjuta-juta manusia dari seluruh belahan dunia. Hitam, putih, tinggi,pendek, gemuk, kurus, tua, muda, lelaki dan perempuan, termasuk juga yang kaya dan papah.

Selalu ada transaksi di kota ini. Antara manusia dengan manusia, membeli barang atau menjual jasa. Dini hari atau tengah malam, sore hari atau di awal pagi. Siang dan malam seolah sudah bukan lagi penanda waktu untuk menentukan kegiatan. Tapi yang paling menakjubkan adalah, proses transaksi antara makhluk dengan Tuhan. Di tanah ini, seluruh manusia yang hadir sedang melakukan transaksi, menjual dirinya, menghambakan dirinya demi sebuah tebusan besar, ridha Tuhan yang Maha.

Siang atau malam, pagi dan juga petang, panas terik yang menghunjam, atau dingin dan hujan, tak pernah memberi perbedaan. Selalu ada manusia-manusia yang melakukan ibadah. Memuji dan memuja. Menangis dan merintih dengan nada taubat, meneteskan airmata atau memancarkan tatapan haru penuh bahagia.

Itu yang ingin saya ceritakan. Bukan tentang kota-kota yang dipenuhi manusia yang haus hiburan, atau jiwa-jiwa yang tak kenal lelah mengejar sesuatu yang akan kian membuatnya dahaga: dunia!

Saya melihat, orang-orang yang berjalan Thawaf mengitari Ka'bah, bermacam rupa mereka. Ada yang berjalan dengan cepat dan gagah, peluhnya membasahi bahu, bahkan sekujur tubuh. Langkahnya ringan, kuat, membaca kalimat-kalimat doa dengan pasti. Tapi ada juga yang bertubuh besar sekali, langkahnya berat, napasnya lebih berat lagi.

Sekujur tubuhnya mengucurkan peluh, tapi matanya memancarkan semangat untuk menuntaskan satu lagi putaran thawaf yang diperintahkan Rabbul Izzati. Sangat berat langkahnya. Seolah satu angkatan kaki adalah siksaan yang sempurna. Namun demikian, satu per satu langkah diselesaikannya juga.

Ada yang cantik atau tampan, memakai kacamata hitam atau berpayung terang. Baju ihram mereka putih, bersih, bagus dan mungkin mahal. Tapi ada juga yang benar-benar bertolak belakang. Tubuhnya kurus, rambutnya kusam, tulang punggungnya pun tak tegak, pakaian ihramnya selembar kain putih yang nyaris telah berubah warna.

Sungguh mengagumkan, keduanya melakukan perintah yang sama, berdoa dan mengagungkan nama Tuhannya. Mereka datang tidak digerakkan oleh materi, apalagi bendahara duniawi. Sungguh ajaib, mereka datang tidak untuk bersenang-senang, mereka datang untuk bersusah-susah dengan dana yang dikeluarkan sendiri, dan itu sama sekali tidak terhitung ringan.

Subhanallah, apa yang membuat berjuta-juta manusia ini datang kemari? Jika bukan karena seruan iman, jika tidak karena cinta pada yang Maha Tinggi, rasanya tak mungkin, hati, kaki dan tangan berjuta-juta manusia ini bergerak kemari.

Pantas saja Ibrahim pernah ragu ketika diperintah untuk menyeru. Dengan apa aku menyeru manusia, demikian tanyanya. Sesungguhnya bukan Ibrahim yang menyeru, tapi Tuhan yang telah menggerakkan hati dan menanamkan cinta dalam diri manusia pada tanah yang Mulia ini.

Di lorong besar, yang menghubungkan Shafa dan Marwa, saya menyaksikan pemandangan yang menggetarkan hati. Seorang laki-laki, terduduk di lantai untuk mempersiapkan diri menuntaskan sai berittiba pada keluarga Ibrahim yang tak putus asa pada rahmat Ilahi. Dia, laki-laki itu, sedang mengencangkan kakinya yang sebelah kiri. Kaki palsu itu, diikatnya kuat-kuat. Diperiksanya seluruh sudut dan kunci. Mungkin dalam hati ia sambil berkata, "Hari ini kau harus kuat, mengantar aku berlari untuk Sai. Bismillahi."

Dihentak-hentakkannya kaki plastik itu di lantai. Lalu senyum gembira nampak sekali di sudut sinar matanya. Kaki palsu itu, kelak akan bersaksi, telah diikat dengan kuat untuk mengantarnya berlari mencari dan mengejar ridha Tuhan yang Maha Tinggi.

Dari tempat saya berdiri, saya mengantarkannya dengan pandangan yang telah kabur oleh genangan airmata. Dada saya seolah-olah ikut meloncat-loncat dengan kakinya. Lalu saya mengangkat tangan dan berdoa, untuk lelaki yang tak pernah saya kenal nama dan asalnya. "Allahu yardha alaik, Allahuma barik fiik, insya Allah. Berkahilah hidupnya ya Allah dan hamparkanlah ridha-Mu untuknya ya Tuhan yang Maha Mengabulkan doa."

Anda harus ke sini, menyaksikan sendiri dan saya berdoa agar Allah memberi kesempatan pada saya dan Anda untuk selalu mampu mengunjungi tanah yang suci ini.

Anda harus melihat sendiri, betapa ketika menjelang waktu berbuka tiba manusia-manusia ajaib ini berlomba untuk saling memberi. Yang mampu akan memberikan bermacam makanan, tentu yang paling populer adalah Kurma yang penuh berkah. Ada yang membagikan Laban untuk berbuka, roti gandum yang jumlahnya tak terhingga, Gohwa dan Say Ahmar atau the merah yang beraroma mint pembangkit selera.

Bagi yang kurang mampu, agama ini tak pernah kekurangan ruang untuk memberi ruang kepada mereka dalam berbuat kebaikan. Ada yang membeli tissu pengusap peluh yang dibagikan kepada mereka yang mau. Bahkan ada yang hanya menampung air Zam-Zam, mengambil gelas-gelas putih lalu membagikan kepada mereka yang Sai dan tak sempat mengantri. Ada lagi yang lebih menakjubkan, yakni orang-orang yang mengumpulkan kurma pemberian, lalu dibagikan kembali pada orang-orang yang belum mendapatkan.

Duhai, manusia apakah mereka ini? Apa yang menggerakn hatinya? Siapa yang membuat mereka sedemikian rupa? Mereka adalah kaum Muslimin. Dan mereka digerakkan oleh iman. Tentu saja yang menggerakan adalah Dzat yang memiliki nama ar Rahman.

Terkagum-kagum saya, terpana betul di Baitul Haram. Perbedaan-perbedaan kecil ditinggalkan, semua memfokuskan diri dan berporos pada ridha Allah yang Maha Tinggi. Akhlak mengutama saudara menghiasi seluruh perilaku mereka. Mereka bergerak sendiri, tidak diorganisasi oleh negara, apalagi pemerintah tempat kekuasaan hanya mengantarkan pada perpecahan.

Terakhir, saya ingin menceritakan bagian yang paling favorit. Air Zam Zam, satu dari sekian rahmat Allah yang Maha Tinggi. Selepas Thawaf, mereka yang mengelilingi Ka'bah di siang hari mengguyur kepala dan tubuhnya sampai basah. Mereka yang bersa'i, juga mengguyur tubuh mereka di sepanjang jarak antara shafa dan marwa yang penuh berkah.

Ada yang membasahi kain ihramnya, ada yang menyiram jilbabnya, ada yang meletakkan gelas di atas kepala dan dikucur sedikit demi sedikit sambil menuju Shafa atau Marwa. Yang model satu ini, sering membuat lantai basah. Dan petugas bersih-bersih hanya bisa menggelengkan kepala. Berjuta ragam perilaku manusia.

Ada yang mengusapkan air zam zam di kakinya, agar kuat dan sehat. Ada yang menggusap kepalanya dengan doa pintar dan cerdas. Ada yang membasahi dadanya dan berdoa untuk lapang dan ikhlas. Air ini, kata Rasulullah tergantung yang meminumnya. Dan air ini sudah menyentuh hampir seluruh penjuru dunia.

Bayangkan, dari Mekkah mereka dibawa negeri masing-masing tempat asalnya. Benghazi, Tripoli, Timbuktu sampai Tunisia. Kazakhstan, Dagestan,sampai wilayah Eropa Timur lainnya. Indonesia mungkin adalah negeri yang banyak membawa pulang air Zam Zam yang diberkati.

Sesampai di Indonesia, air ini menyebar lagi sampai ke pelosok yang paling jauh yang pernah terbayangkan oleh kita. Dari Aceh hingga Papua, dari Mianggas sampai pulau terluar yang dimiliki negeri kita. Dan air ini, insya Allah tidak akan ada habisnya. Duhai manusia, nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang engkau dustakan? Mari bersegera menuju Allah yang senantiasa bergembira melihat hamba-Nya yang bertaubat dan merindukan rumah-Nya. Saya berdoa untuk Anda semua semoga Allah membuat mampu kita pergi ke Baitullah. Dan Insya Allah, Dia yang Maha Rahman akan membuat kita memiliki kemampuan. Karena Dia senang melihat hamba-hamba-Nya yang merindukan perjumpaan.

Pertanyaannya sekarang, sebesar apa kemauan kita, sehingga Allah menganugerahi kemampuan? Selamat meluruskan niat dan memperbesar keinginan. Allahu Akbar!