22 November 2016

Pulau Derawan

0 comments
Dalam selubung pagi fajar menyingsing. Berpendar cahaya baru yang menghidupkan. Tak ada penafsir manapun yang mampu mendefinisikan eloknya peristiwa ini.
Gurat awan putih di langit biru dari balik tegaknya pohon kelapa. Semuanya berpadu menjadi panorama hidup tak perlu melukis setelah ini.
Warna hijau dalam kadar yang berbeda-beda dan terwakilkan oleh aneka jenis makhluk hidup : penyu, rumput laut, ganggang hingga air laut berhimpun dalam sebuah ekosistem. Amati percampuran warnanya, berbeda dan saling berpadu indah.

Terakhir, saya mau menyinggung persoalan paling rumit bagi kemanusiaan bernama CINTA. Seberapa jauh kita berani menelusuri datangnya entitas ini. Tapi seringkali cinta hanyalah akibat dari terpancarnya pesona. Semua yang terjerat akan tebrawa ke dalam misteri duka bernama harapan tak sampai. Dari pesona berdetaklah cinta dan terbit harapan. Dan selalu taqdir yang menentukan hasil akhirnya. Bersama atau tidak, disikapi berbeda-beda oleh setiap jiwa. Maka jadikan jiwa kita selapang samudera agar cair segala endapan kecewa akibat kasih yang tak sampai. End.


Di Pulau Derawan keindahan akan menjamahmu meski kamu berselimut dari balik jendela kamar.


Pria bersarung rombeng memegangi bintang laut yang terhempas galur pantai ke tepian.

16 Oktober 2016

Isi Museum Dipoegoro Keresidenan Kedu Magelang

0 comments




Ini kursi yang diduduki oleh Pangeran Diponegoro di sebuah ruangan di Karesidenan Kedu (Sekarang Bakorwil II Jateng). Ada bekas goresan kuku beliau. Menurut sejarawan, bekas goresan itu adalah reaksi kegeraman Pangeran Diponegoro ketika mengetahui bahwa perundingan dengan Jendral De Kock saat itu adalah jebakan belaka. Dalam sekejap di luar ruangan sudah dikepung oleh serdadu tengik kafir Belanda. Pengepungan ini menandai akhir perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap penjajah kafir Belanda. Ia tertangkap bukan karena inferioritas kekuatan tapi oleh konspirasi licik penuh tipu muslihat.






Warisan Nusantara Islam. Sebuah kearifan aseli yang harus dijaga dan diperkenalkan kembali bahwa kemerdekaan diraih dari tinta ulama dan darah syuhada.
Kitab Taqrib, berisi tentang strategi perang dan pesan-pesan jihad. Berusia sekitar tiga abad. Hadiah dari Kiyai Syafi'i, guru spiritual Pangeran Diponegoro di masa-masa genting Perang Jawa. Terdapat catatan pinggir pada teksnya, mengindikasikan pernah ada yang mencoba mensyarahnya. Kitab ini saya foto di museum kamar Karesidenan Kedu Magelang. Kata pengelola museum, kitab ini sudah pernah coba diterjemahkan oleh Goethe Institute atas dorongan dari Peter Carey, Indonesianis yang paling lama meneliti Pangeran Diponegoro selama 30 tahun. Entah dimana sekarang terjemahannya. Sebab di kitab Ramalan Peter Carey juga tidak dicantumkan.

12 Oktober 2016

LANGGAR AGUNG

0 comments
Dalam pertempuran, setiap Pahlawan punya sumber kekuatan tiap kali energi dirasa habis. Atau kejenuhan dan keputusasaan mulai merasuk, mempengaruhi jiwa. Pahlawan butuh katarsis, wahana untuk pelepasan beban. Bagi sosok Diponegoro, tempat itu adalah Langgar Agung. Lokasinya di Salaman, Magelang tak jauh dari pusat latihan militer Akmil Angkatan Darat.

Ini situs bersejarah. Saksi bisu seorang anak bangsa yang menolak tunduk kepada penjajahan Belanda. Inilah tempat petilasan Pangeran Diponegoro, namanya Langgar Agung. Di Langgar inilah tempat Pengeran Diponegoro bermujahadah, meneguhkan ruh jihad, mengatur strategi di masa-masa genting Perang Jawa antara tahun 1825 hingga 1830.
Letak langgar ini di kaki Bukit Menoreh, persisnya di Kecamatan Salaman, Dusun Kalam Magelang. Kini disekitar langgar sudah berdiri MTS Diponegoro. Langgarnya sudah berulang kali dipugar dan sudah tidak dalam bentuk aslinya.
Hari ini saya berkesempatan mengunjungi tiga situs penting yang menandai akhir perjalanan Pangeran Diponegoro. Mengingat luarbidahsyatnya Perang Jawa kala itu, ini perang terlama sekaligus tersengit yang dihadapi Belanda. Bahkan mereka nyaris putus asa meredam api perlawanan Pangeran Diponegoro beserta pasukan jihadnya hingga akhirnya Belanda melalui tangan Jendral De Kock, menggunakan skenario licik menjebak Pangeran Diponegoro di sebuah ruangan di Karesidenan Kedu.









5 September 2016

Bahaya Mencela Orang Yang Sudah Berhijrah

0 comments


Manusia itu dinamis. Maka pada tahap tertentu prasangka terhadap seseorang tidak bisa tetap. Lebih baik lagi jika tidak berprasangka sama sekali. Karena kesibukan memperbaiki aib sendiri seringkali berbanding lurus dengan ketidaksempatan berprasangka terhadap orang lain.

Kecendrungan untuk berprasangka ini seringkali menjadi godaaan kuat bagi orang yang merasa shaleh atau memang sudah shaleh. Golongan kedua yang seringkali berprasangka adalah munafiqun, orang-orang munafik. Semut di seberang sungai nampak tapi gajah di hadapan sendiri diabaikan.

Seperti misalnya dalam kasus ketika kita mengenal seseorang yang identik terhadap suatu maksiat di masa lalu tapi kita yang tak kunjung paham perubahan manusia masih saja mencela orang itu dengan maksiat yang sudah ia tinggalkan. Maka berhati-hatilah berprasangka terhadap orang-ornag yang sudah berhijrah atau sudah meninggalkan maksiat-maksiatnya di masa lalu. Nabi sudah ingatkan.

روى معاذ رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : " من عيَّر أخاه بذنب لم يمت حتى يعمله ". رواه الترمذي .
كتاب صفة القيامة والورع/2429
قال أحمد : مِن ذنب قد تاب منه .

Mu'adz meriwayatkan bahwa Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa menghina saudaranya karena suatu dosa, dia belum akan mati sampai mengerjakan dosa yang sama." (HR At Tirmidzi dalam Kitab Shifat Al Qiyamah wal Wara' no 2429.)

Imam Ahmad berkata, "Yaitu mencela dosa yang pelakunya itu sudah bertaubat darinya."

3 September 2016

Jon Jandai

0 comments



Jon Jandai adalah seorang petani dari Thailand dan pendiri Pun Pun, sebuah pusat pertanian organik dan pusat belajar masyarakat di Thailand Utara.

Dia kini banyak bicara di berbagai forum untuk memberi perspektifnya atas 'hidup dengan cara yang berbeda'. Menyimak salah satu presentasinya, mengingatkan saya atas salah satu guru saya yang telah almarhum: Mas Tanto. Beliau juga seorang petani. Salah satu orang yang memberi saya banyak goncangan pemikiran. Juga pandangan hidup. Untuk mengenang beliau, saya transkripsikan presentasi pendek Jon Jandai yang sebetulnya bisa disimak juga lewat Youtube.

Silakan...

"Ada satu kalimat yang selalu ingin saya katakan kepada semua orang: hidup adalah mudah dan sangat menyenangkan.

"Sebelumnya, saya tak pernah berpikir demikian. Ketika saya tinggal di Bangkok, hidup saya sangat sulit. Saya lahir di sebuah desa 'miskin' di bagian Timur Laut Thailand. Saat saya kecil, semua hal tanpak mudah dan menyenangkan...

"Tapi ketika televisi mulai masuk ke desa saya, banyak orang datang ke desa dan mengatakan: Kalian miskin, kalian harus sukses dalam hidup ini, dan kamu harus ke Bangkok untuk mengejar kesuksesan hidup!"

"Semenjak itu saya merasa sedih dan merasa miskin. Dan saya pun akhirnya pergi ke Bangkok. Ketika saya tiba di sana, keadaan ternyata tidak menyenangkan. Saya harus belajar dan bekerja keras supaya 'sukses'.

"Saya bekerja sangat keras, paling tidak 8 jam dalam sehari. Tapi saya hanya bisa makan semangkuk mie atau sepiring nasi goreng. Tempat tinggal saya buruk sekali. Sebuah ruangan kecil yang ditempati banyak orang.

"Dari situlah saya mulai bertanya... Kenapa ketika saya mulai bekerja keras, hidup saya malah mulai susah? Pasti ada yang salah. Saya telah menghasilkan banyak hal, tapi kebutuhan saya tak pernah tercukupi.

"Saya kemudian mencoba belajar di sebuah universitas. Tapi ternyata belajar di sana tidak mudah sebab sangat membosankan. Lalu setiap saya cermati semua fakultas, kebanyakan dari mereka mengajarkan sesuatu yang destruktif. Bagi saya, pengetahuan yang didapat dari universitas adalah pengetahuan yang tidak produktif. Misalnya, jika Anda jadi insinyur atau jadi arsitek, itu berarti Anda akan merusak banyak hal. Makin banyak mereka bekerja, maka makin banyak pegunungan yang hancur. Dan tanah yang bagus di lembah Chao Phraya akan makin tertutup dengan beton.

"Jika Anda belajar pertanian atau semacamnya di universitas, berarti Anda belajar cara meracuni tanah, air, dan belajar untuk merusak semuanya.

"Saya merasa bahwa semua sangat rumit dan sulit. Kita membuatnya menjadi serbarumit dan serbasulit. Hidup terasa sangat sulit, dan saya sangat kecewa.

"Saya mulai berpikir, kenapa saya harus berada di Bangkok ini? Saya kemudian teringat, ketika saya kecil tak ada yang bekerja 8 jam dalam sehari. Semua orang bekerja dua bulan per tahun. Menanam padi sebulan, dan sebulan untuk panen. Sisanya adalah waktu luang. Ada 10 bulan waktu luang dalam setahun. Itulah kenapa di Thailand ada banyak festival. Karena mereka punya banyak waktu luang.

"Lalu di siang hari, semua orang tidur. Bahkan jika Anda sekarang pergi ke Laos, semua orang tidur siang usai santap makan. Setelah bangun tidur mereka 'bergosip' tentang para menantu mereka. Orang punya banyak waktu. Karena mereka punya banyak waktu, mereka punya waktu untuk diri mereka sendiri. Ketika mereka punya waktu untuk diri mereka sendiri, mereka punya banyak waktu untuk memahami diri mereka sendiri. Dan ketika mereka punya banyak waktu untuk memahami diri sendiri, mereka bisa tahu apa yang mereka inginkan dalam hidup ini. Dan mereka menginginkan kebahagiaan. Mereka ingin cinta. Mereka ingin menikmati hidup. Di situlah mereka menikmati keindahan hidup, dan mengekspresikannya dengan banyak cara. Ada yang mengukir gagang pisau dengan indah, menganyam keranjang dengan bagus. Tapi sekarang tak ada yang membuat dan menggunakannya lagi. Semua orang sekarang memakai plastik.

"Saya merasa ada yang salah. Saya tidak bisa hidup sebagaimana yang saya alami di Bangkok. Jadi saya memutuskan berhenti kuliah. Dan saya pulang ke kampung halaman.

"Ketika saya pulang kampung, saya mulai hidup seperti masa kecil saya. Saya mulai bekerja dua bulan setiap tahunnya. Saya punya 4 ton beras. Seluruh keluarga saya yang berjumlah 6 orang, hanya butuh kurang dari 0,5 ton beras per tahun untuk makan. Jadi ada sisa beras yang bisa saya jual. Kemudian saya membuat 2 petak kolam yang saya sebari benih ikan. Setiap tahun, keluarga kami bisa makan ikan dari kolam itu. Saya lalu membuat kebun kecil, tidak sampai 2000 meter persegi. Dan saya hanya membutuhkan waktu 15 menit setiap hari untuk merawat kebun itu. Saya punya 30 lebih jenis sayuran di kebun itu. Sayuran itu tak habis kami makan sekeluarga. Sehingga sebagian saya jual.

"Saya merasa hidup saya lebih mudah. Dan saya bertanya-tanya, untuk apa saya dulu menghabiskan waktu 7 tahun di Bangkok dan sehari 8 jam bekerja kalau hanya untuk makan semangkuk mie? Saya bekerja keras tapi susah untuk makan. Di sini, di kampung saya ini, saya hanya perlu bekerja dua bulan dalam setahun di sawah, dan 15 menit perhari, dan saya bisa memberi makan 6 orang.

"Itu terasa sangat mudah. Sebelumnya say berpikir bahwa orang bodoh seperti saya yang tidak pernah mendapatkan nilai bagus di sekolah, tak bakal bisa punya rumah. Sebab anak terpandai di sekolah saya, anak yang mendapatkan rangking satu, dia mendapatkan pekerjaan yang bagus. Tapi dia membeli rumah dengan cara mencicil selama 30 tahun. Kalau dia saja butuh 30 tahun mencicil rumah, bagaimana dengan saya?

"Tapi akhirnya saya mulai membangun rumah perlahan dari bahan apa saja yang ada di sekeliling saya. Ternyata sangat mudah. Saya hanya mengerjakannya 2 jam dalam sehari. Mulai jam 7 sd jam 9 pagi. Dalam waktu 3 bulan, rumah itu jadi. Jika teman saya yang pintar butuh waktu 30 tahun untuk melunasi hutang rumahnya, saya hanya butuh waktu 3 bulan untuk membangun rumah saya sendiri.

"Saya merasa hidup saya lebih mudah. Saya tak pernah berpikir bahwa ternyata membangun rumah bisa semudah itu. Setelah tahu bahwa membangun rumah itu mudah, setiap tahun saya membangun rumah. Sekarang, saya memang tak punya banyak uang, tapi saya punya banyak rumah.

"Jadi memiliki rumah bukan masalah. Setiap anak usia 13 tahun bisa punya rumah jika sepulang sekolah dia mau meluangkan waktu 2 jam untuk membangunnya. Mereka bisa membuat perpustakaan dan sekolah jika mau. Setiap orang sepuh pun bisa bikin rumah sendiri.

"Jalan ini begitu mudah. Jika Anda tidak percaya, coba saja. Berikutnya adalah pakaian...

"Saya merasa miskin. Saya juga merasa bukan orang yang tampan. Saya pernah mencoba berpakaian seperti para bintang film agar kelihatan tampil lebih menawan. Saya perlu menabung sebulan untuk membeli celana jins. Setelah saya kenakan, dan saya bercermin, ternyata saya tidak berubah lebih baik. Saya tetap orang yang sama. Kalau begitu, kenapa saya harus membeli jins? Toh tidak mengubah apapun. Setelah itu, saya tak pernah membeli pakain selama 20 tahun. Sebab ada banyak orang yang datang mengunjungi saya yang memberikan pakaian. Dan malah saya punya banyak pakaian untuk saya berikan kepada orang lain.

"Semenjak saya berhenti membeli pakaian, ada banyak hal yang berubah di diri saya. Saya pada akhirnya hanya membeli apa yang saya butuhkan. Bukan apa yang saya inginkan. Saya merasa lebih bebas. Lebih merdeka.

"Terakhir, ada yang mengganggu saya. Bagaimana jika saya sakit? Pada awalnya, saya khawatir karena saya tak punya uang. Tapi saya lebih sering merenung. Sakit adalah hal biasa. Bukan hal yang buruk. Sakit bisa mengingatkan kita bahwa mungkin ada yang salah dalam kehidupan kita. Saya lalu belajar menyembuhkan diri sendiri dari apa yang tersedia di alam. Setelah saya bergantung pada diri saya sendiri, saya makin merasa bebas. Saya tidak hidup dalam kekhawatiran. Saya melakukan apapun yang saya sukai di hidup ini.

"Saya merasa orang yang unik. Saya tak perlu menjadi seperti orang lain.

"Ketika kemudian saya mengingat kehidupan saya yang suram waktu di Bangkok, saya akhirnya memutuskan membuat Pun Pun di Chiang Mai. Tujuan utamanya adalah untuk menyimpan benih tanaman. Karena benih adalah makanan. Karena makanan adalah kehidupan. Tak akan ada kehidupan jika tak ada makanan.

"Tak ada benih maka tak ada kebebasan. Tak ada benih maka tak ada kebahagiaan.

"Hidup kita tak akan tergantung pada orang lain jika kita punya benih. Jadi sangat penting untuk menyimpan benih.

"Selain itu, Pun Pun adalah pusat belajar. Belajar tentang bagaimana membuat hidup ini lebih mudah. Sebab di sekolah-sekolah, kita diajari untuk membuat hidup kita lebih rumit dan sulit. Kita bisa sama-sama membuat hidup ini lebih mudah. Tidak seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah. Di sekolah, kita tidak diajarkan untuk mandiri. Kita diajari untuk tergantung pada uang. Tapi sekarang, untuk bahagia kita perlu percaya kepada diri sendiri dan orang lain.

"Dari semua hal di atas, yang ingin kembali saya tekankan adalah segala kebutuhan primer: makanan, rumah, pakaian, dan obat-obatan, haruslah mudah dan murah untuk semua orang. Itulah peradaban. Dan jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka berarti yang terjadi adalah ketidakberadaban.

"Dan sekarang yang kita saksikan adalah yang kedua. Begitu ada banyak orang pintar di dunia ini, ada banyak universitas, ada banyak sarjana, tapi hidup kita makin sulit. Kita semua bekerja keras. Tapi hidup makin sulit. Lalu untuk apa dan untuk siapa kita bekerja keras?

"Kita hanya butuh kembali menjadi orang 'normal'. Burung membuat sarang dalam waktu satu sampai dua hari. Tikus membuat lubang dalam semalam. Tapi makhluk cerdas seperti kita butuh hutang 30 tahun untuk membuat rumah. Sialnya, makin banyak orang pesimistis bisa punya rumah.

"Itu pemikiran yang keliru. Kenapa kita bisa menghancurkan kemampuan kita sedemikian rupa? Kita punya pilihan. Memilih yang mudah atau yang sulit.

"Banyak orang bilang bahwa saya gila. Tapi itu kata mereka. Saya tidak bisa mengatur apa yang mereka pikir. Tapi saya bisa mengatur apa yang saya pikir dan saya kerjakan. Saya punya pilihan. Demikian juga Anda."

Status diatas repost dari status milik Puthut EA

7 Agustus 2016

Kegemukan Problem Perjuangan

0 comments
Bukan kematian yang memutus riwayat seorang pejuang. Karena mati bukan konsekuensi perjuangan. Orang yang tak berjuangpun pasti akan mati. Satu-satunya pemupus riwayat seorang pejuang bahkan penakluk sekalipun adalah masalah "kegemukan" atau perut buncit. Situasi dimana seorang pejuang sudah tidak gesit lagi gerakannya karena kelincahan tersandera oleh postur. Saat dimana tubuh menerima asupan melampaui batas hingga malas bergerak, makanan selalu menjadi tema utama yang berputar dikepala. Umar bin Khattab tidak menyukai perut buncit karena baginya perut seperti itu terlalu "kenyang" dengan dunia.
Apakah dengan tulisan diatas kita lantas menyalahkan orang gemuk? Tidak, saya tidak sedang mengeneralisasi bahwa org gemuk sudah pasti bukan pejuang. Gemuk itu pilihan, bahkan bagi sebagian org ada yang mengaku tidak punya pilihan untuk menjadi ramping, situasilah yang mengkondisikannya untuk gemuk.
Tapi di sini saya mau mengajak kita untuk memahami kegemukan dalam relasinya dengan moral dan kekuatan seorang pejuang. Sepanjang sejarah kita memandang kekuatan dengan tidak konsisten. Ada kalanya ketika beruang yang tambun jadi simbol kekuatan, lalu muncul simbol kekuatan baru dan dominan berupa singa yang ramping di pinggang serta perkasa di dada.
Perlambangan kekuatan ini mempengaruhi cara pandang kita tentang citra seorang pejuang. Ada saat dimana kesatria itu tergambar sebagai sosok bertubuh gempal tapi padat energi meski lamban, kadang pula kesatria mewujud sosok kekar bertubuh ramping nan gesit.
Dalam tradisi wayang kulit misalnya, kita bisa melihat citra para kesatria, dengan Arjuna sebagai panutan, umumnya berpostur ramping-bahkan cungkring. Sosok yang gendut justru pihak jahat : para gergasi, buto, atau orang sabrangan. Citra ini mensugesti cara pandang masyarakat jawa dan nusantara dalam memandang postur bahwa kurus itu ideal yang tidak hanya sebatas bermakna estetis tapi juga memancarkan citra moral sesorang. Gemuk menandai sifat tamak dan rakus. Di sini kita bisa mafhum mengapa mengapa RasuluLlah berwasiat "Berhentilah makan sebelum kenyang", sebab kemampuan mengendalikan nafsu makan sejalan dengan kemampuan kita menegakkan moral.
Maka kita tidak bisa mengendalikan persepsi orang karena tuntunan agama pun membuat kita senantiasa mencurigai orang gemuk sebagai sosok yang gemar akan rasa kenyang dubanding berlapar-lapar puasa. Fakta perjuangan selalu memberi konsekuensi bagi kita untuk tidak menikmati sajian dunia seluruhnya. Maka seorang pejuang mustahil untuk bertubuh gemuk, kecuali bagi mereka yang mengalami kegemukan karena sebab genetis.

30 Juli 2016

ANGKER

0 comments
Kamis siang saya bertolak dari Gontor 2 desa Madusari menuju stasiun Madiun dengan ojek bertarif 70rb. Ini pilihan transportasi tunggal untuk menjangkau stasiun. Setiba di stasiun, saya mengecek tiket kereta di mesin KIOS-K. Tidak ada tiket kereta untuk sampai Jakarta, semuanya penuh. Kemudian saya mengganti stasiun asal, ternyata dari Tugu Jogja ada untuk sampai ke Gambir. Itupun baru ada dI Sabtu malam, harganya juga mahal, Kereta Bima kelas eksekutif.
Masih ada waktu untuk mengunjungi kawan lama di Solo. Sebelumnya Ustad Salim A. Fillah sudah memberi sedikit gambaran tentang Solo, kota satelit tempat bergolaknya berbagai pemikiran dan gerakan mulai dari ekstrim kanan sampai ekstrim kiri. Tapi saya masih penasaran. Ingin sekali main ke Taman Sriwedari, Pasar Kelewer, Keraton Surakarta dan Masjid Agung yang antik serta mencicipi kuliner bernama selat solo.
Perjalanan yang singkat, saya tiba di stasiun Purwosari Solo. Sempat singgah di Balapan, stasiun yang dulunya saya kenal hanya lewat lagu Didi Kempot. Mas Bujo ( bukan nama asli) kawan lama sudah menanti, menjemput dan kemudian kami bersama-sama membelah malam kota Solo melintasi sungai begawan yang kering karena surut dan masuk ke Karanganyar.
Mas Bujo bercerita, "aku kerja di Solo tapi tinggal di Karanganyar. Jaraknya cuman 45 menit. Aku ngontrak di sebuah rumah yang cukup besar. Cuman 7 juta untuk 2 tahun."
"Loh kok murah mas?" Saya bertanya.
"Itu rumah angker, tak ada yang mau mengontrak. Setelah lama kosong baru saya yang berani menempatinya"
Saya lalu mengalihkan pembicaran. Informasi angkernya sebuah rumah yang akan menjadi tempat saya menginap malam itu bisa menganggu ketenangan untuk beristirahat.
Kami tiba dirumah. Saya diajak masuk keruang tengah, ada TV disana yang letaknya dekat bawah tangga. Saya lalu meraba dindingnya, ternyata lembab. Tak ada jendela untuk menyinari area sekitar bawah tangga. Dibenak saya melintas sebuah anggapan, gelap dan basah. Sebuah area yang ideal untuk didiami hantu.
"Dir, diawal saya masuk sini, ada salip besar di dinding. Catnya suram, akhirnya saya ganti biar lebih cerah dan mengurangi kesan angkernya" kata Mas Bujo. Lagi-lagi saya mengabaikan topik tentang rumah lalu bertanya seputar kehidupan Mas Bujo selama ini.
"Saya tidur disini aja mas." Sembari menunjuk area depan TV dekat bawah tangga.
"Jangan Dir, kamu istrahat diatas saja. Di lantai 2 sudah saya siapkan kamar untuk kamu" Jawab Mas Bujo.
"Gpp Mas, saya tidur disini saja karena saya suka pipis tengah malam jadi tidak perlu naik turun tangga." Saya berkilah.
"Jangan Dir, disini bau dekat WC. Kalau malam dingin nanti kamu tidak bisa beristirahat dengan nyaman. Kamu diatas aja ya." Mas Bujo tak kalah sengit menegaskan ajakannya.
Kali ini saya menyerah, enggan berdebat. Sudah syukur saya mau dijamu. Saya lalu menurut dan naik keatas menaruh barang. Diatas ada dua kamar. Sangat gelap. Keduanya tampak lama kosong dan memang tidak pernah dihuni. Satu kamar dijadikan gudang, satu kamarnya lagi untuk saya. Di plafon kamar yang akan saya tempati ada lubang. Waduh kenapa nggak ditutup ya. Jujur saja, lubang seperti itu memantik imaji horor dibenak saya. Apalagi sebelum meninggalkan Pontianak, saya sempat menonton Conjuring 2, merekam image Valak.
Saya turun ke WC, mandi dan wudhu. Oh iya saya belum sholat Magrib-Isya. Saya menjamak dan sholat di kamar baru itu. Sengaja suara saya jaharkan. Upaya untuk melenyapkan suasana horror benar-benar serius saya jalankan dan sepertinya kurang berhasil. Saya teringat sunnah mengibaskan kain ke tempat yang akan kita tiduri sebanyak 3 kali sembari membaca shalawat. Ini saya lakukan juga.
Badan yang masih kedinginan karena mandi malam saya bungkus dengan jaket kemudian merebahkannya. Perjalanan hari ini melelahkan semoga saya bisa tidur nyenyak. Setengah jam saya memejamkan mata, sulit sekali untuk terlelap. Tak ada pilihan lain, saya butuh pengalih pikiran agar tidak berimajinasi macam-macam. Saya putuskan untuk membaca sampai tertidur.
Saya terbangun. Tidak biasanya seperti ini. Saya melihat jam, busyeet baru jam 12 malam. Saya pikir sudah masuk subuh. Ada apa ini !?!?
Diluar petir menggelegar, isyarat akan turun hujan lebat dan memang sekejap turun hujan deras. Saya baru sadar bahwa jendela kamar itu tak bertirai. Saya langsung dapat melihat hujan diluar. Harusnya kamar terasa dingin. Entah kenapa justru sebaliknya, saya merasa kepanasan.
Ini suasana tidak nyaman. Terbangun tengah malam dan kepanasan di sebuah kamar yang tak pernah berpenghuni sebelumnya. Saya putuskan untuk melawan nuansa mistik ini. Saya tidak ada pilihan lagi. Sudah berulang kali saya mencoba kembali tidur tapi gagal.
Seketika saya kesal dan marah terhadap entitas abstrak apapun yang mengusik istirahat malam itu. Saya menunggui dan menghadap jendela, berusaha menghadapi. Setengah jam berlalu, sejam juga tapi tak ada apapun. Saya lalu putuskan untuk hanyut kedalam bacaan yang belum tuntas sampai tertidur. Esok harinya, Jumat seharian saya menjelajahi kota Solo dan di malam kedua tidur di kamar yang sama. Alhamdulillah, nyenyak tanpa gangguan apa-apa.
Sabtu pagi sesaat sebelum meninggalkan rumah itu saya bertanya ke Mas Bujo. "Kata Mas rumah ini angker, Mas pernah ketemu penunggunya?"
Mas Bujo lalu bercerita, "Ada Dir, waktu itu pegantian malam tahun baru. Saya tidak keluar tapi istirahat di ruang tengah sampai tertidur depan TV. Kemudian saya terbangun dan melihat sosok tinggi besar, kepalanya tak nampak, bersarung hitam dari lantai dua tempat kamu tidur semalam, menuruni tangga tanpa menjejak. Sosok itu lalu berhenti dan menghadap ke arah saya tidur. Segala macam doa dan zikir saya baca waktu itu sambil menutup mata. Suasana horror sekali."
Saya lalu membenak sambil mengelus dada. Untung saja bagian cerita ini tidak saya dengar sebelum menginap di kamar itu.
Belakangan saya belajar bahwa melawan nuansa mistik bisa dimulai dari mengendalikan pikiran. Semacam diet pikiran. Alihkan sorotan kita maka dengan seketika keseraman akan sirna. Jika tak pernah tahu historinya, seangker apapun suatu tempat akan tetap terjamah juga. Kadang keangkeran adalah suatu mitos yang diproduksi berulang hingga menguasai alam bawah sadar kita. Mengacaukan pikiran dan merusak keyakinan. Salimul aqidah, kekuatan imanlah yang membebaskan kita dari segala mistik yang menjajah pikiran dan perasaan kita.

17 Juli 2016

Qismul Amni atau bagian keamanan Gontor

0 comments

Dalam kultur pondok yang militeristik seperti Gontor maka kedisplinan adalah inti dari berjalannya sistem. Bagian yang menjaga sistem untuk tetap pada khittah-nya bernama "qismul amni" atau bagian keamanan. Merekalah yang menegakkan aturan, menindak santri yang melanggar hingga memberikan iqob atau hukuman. Model iqobnya bermacam-macam seperti membersihkan dapur, WC umum, menghafal kosa kata dan hukuman paling fatal adalah dicukur botak dan dipecat sebagai santri karena tiga pelanggaran berat : mencuri, menyontek, berkelahi.
Membedakan santri petugas qismul amni dengan santri biasa adalah letak menggantungkan sejadahnya, mereka menggantungnya disebelah kiri sedang keumuman santri di sebelah kanan dan terlarang bagi santri biasa mengubah posisi sajadah. Ini standar sakral yang tidak boleh diganggung gugat.


Hal menarik dari qismul amni ini adalah aspek wibawa mereka di mata santri biasa. Tanpa kata hanya dengan isyarat dan tanda, santri sudah mafhum instruksinya. Misalnya jelang 10 menit azan sholat berkumandang maka qismul amni selalu melakukan ritual menaruh sepeda di depan masjid seperti pada gambar ini sambil berdiri mengedarkan pandang, menenteng map merah yang berisikan daftar pelanggaran santri. Santri biasa yang dari jauh melihat petugas qismul amni langsung bergegas berlarian kecil menuju masjid.
Wibawa seperti ini dalam sistem pendidikan klasik dibangun dengan kekerasan fisik yang dimitoskan seperti tempeleng atau tendangan putar, namun seiring berjalannya waktu dengan modernisasi pendidikan pondok maka wibawa ini terbangun cukup dengan aspek keteladanan dan keilmuan. Santri senior disegani karena keteladanan dan keilmuan mereka.
Mahasiswa senior di perguruan tinggi ataupun siswa senior di sekolah umum boleh mencontoh cara ini, membangun wibawa dan pendidikan karakter tanpa perlu menyelenggarakan ospek atau MOS yang primitif dengan bullying, kekerasan fisik dan verbal, bentak-bentak tidak jelas. Semua model senioritas yang ingin eksis dengan hanya bermodalkan bullying harus dilawan di kampus-kampus perguruan tinggi ataupun di sekolah-sekokah umum.
Dalam gambar terlihat petugas qismul amni sedang berbicara dengan ustadz-ustadz Gontor yang mengendarai motor. Posisi ustadz adalah maqom terhormat dimana semua santri akan berinteraksi dengan sangat sopan dan penuh adab.


2 Juli 2016

Logam adalah Kita

0 comments
Sekitar 6 tahun silam, tepatnya ditahun 2010 saya mendengar ceramah yang sangat berbobot dari seorang tokoh politik islam yang menggunakan dialek khas bahasa ibu yang sangat saya kenali, Anis Matta namanya. Sejak saat itu saya selalu mengikuti "insight" sang tokoh yang kaya akan perspektif segar. Wabil khusus ketika membahas sejarah.
Kala itu Anis Matta merekonstruksi sejarah bagaimana RasuluLlah "taqwim ar rijaal", membentuk manusia-manusia yang ia bina disekelilingnya. Mengubah mentalitas mereka dari bangsa terbelakang yang hidup nomaden, lawless (tanpa konsensus hukum yg mengikat) , barbar dan sangat keras menjadi bangsa penakluk yang punya visi menebar rahmat bagi alam semesta.
Kala itu poin yang paling menarik bagi saya adalah perspektif Rasul dalam memandang manusia. Anis Matta menyetir sebuah hadis bahwa "An Nasu kal ma'aanin, khiyaruhum fil jahiliyah, hiyaarihum fil islaam", manusia itu ibarat tambang, sebaik-baik mereka kala masih jahiliyah akan tetap yang terbaik ketika sudah hijrah ke Islam.
Bagi saya ini keren sekali, sebuah pemaknaan revolusioner. Rasul melihat manusia laksana entitas tambang yang punya potensi. Selanjutnya, potensi ini jika berada dalam bimbingan yang tepat akan menemukan momentum lesatannya. Melaju sampai ke titik maksimal potensinya.
Pembahasan seorang teman tentang esensi logam dalam defenisi ilmu metallurgy mempertajam pemaknaan manusia sebagai tambang itu. Bahwa kita adalah logam. Salah satu entitas tambang yang berharga.
Kita adalah Logam, kenapa?
“Metal is a solid material which is typically hard, malleable, fusible, and ductile, with good electrical and thermal conductivity.”
Dikatakan 'typically hard' karena kita kuat, tabah, teguh dan utuh. Malleable, karena kita boleh 'dibentuk' melalui tarbiyah. Fusible, karena kita bisa bersatu dan menjadi satu kesatuan. Lalu ductile, karena kita bisa berubah-ubah. Meskipun ditimpa musibah, kita bisa tetap kuat dan utuh karenanya.
... with good electrical and thermal conductivity, karena kita mampu mengalirkan kebaikan kepada siapa saja.
”Manusia seperti logam, karena yang pernah menjadi terbaik di masa jahiliyah, bisa menjadi yang terbaik pula di masa tarbiyah!"
Semoga Ramadhan ini dengan amal itikaf bisa jadi momentum pembentukan kapasitas unggulan diri kita sebagai muslim yang sedang berporses seperti kata Gurunda Salim A.Fillah ;
Alangkah syahdu menjadi kepompong; berkarya dalam diam, bertahan dalam kesempitan.
Tetapi bila tiba waktu untuk jadi kupu-kupu, tidak ada pilihan selain terbang menari, melantun kebaikan di antara bunga, dan menebar keindahan pada dunia.
Alangkah damai menjadi bebijian; bersembunyi di kegelapan, menanti siraman hujan, menggali hunjaman dalam-dalam.
Tetapi bila tiba saat untuk tumbuh dan mekar, tidak ada pilihan kecuali menyeruak menampilkan diri; bercecabang menggapai langit, membagikan buah manis di setiap musim pada segenap penghuni bumi.
I'tikaf para pejuang adalah perhentian sejenak mereka untuk menyambungkan hidup dengan Yang Maha Hidup, menadah kekuatan dari Yang Maha Kuat, untuk melanjutkan perjuangan dan menuangkan pengorbanan di bumiNya yang menanti kiprah.
Selamat menjemput kemenangan.


3 Januari 2016

Sebuah Zawiyah di Bengkarek

1 comments
Laporan Penyaluran Dana Waqaf Pembebasan Lahan Pondok Salaf Al Furqon Dusun Bengkarek

Alhamdulillah tunai sudah amanah penyaluran dana wakaf senilai 41.700.000 untuk pembebasan lahan pondok salaf Al Furqon dusun Bengkarek.

Perjalanan ini merekam banyak peristiwa menggugah tentang dedikasi para Pengurus Lembaga Al Furqon dalam menyalakan suluh, cahaya ilmu di pelosok daerah yang terisolir dari kota.

Medan yang harus dilalui untuk sampai ke tempat ini sangat berat jika dilalui lewat jalur darat, yakni sejauh 73 km yang jalannya masih berupa tanah liat sempit , diapit selak belukar dalam hutan tanpa petunjuk arah yang jelas.

Karena rumitnya medan tempuh tersebut, maka kami memilih jalur sungai untuk sampai ke lokasi. Sungai yang kami telusuri adalah sungai Ambawang yang jarang dilalui alat transportasi air. Sangat sepi dan alami.

Setelah menghabiskan waktu kurang lebih sejam kami tiba di Bengkarek dan memutuskan untuk menginap semalam sekaligus menyegerakan transaksi pembebasan lahan ke pemilik tanah.

Pondok salaf yang kami bebaskan terdapat dalam dokumentasi berikut seluas kurang lebih 5000 m persegi. Di atas lahan tersebutlah berdiri 7 bangunan pendopo yang terbuat dari kayu bekas. Santri yang mukim sebanyak 22 orang.

Pondok salaf ini menerapkan metode belajar klasik , talaqqi. Mengkaji kitab face to face dengan gurunya. Pondok salaf ini membuat 3 jenjang pendidikan.

Setahun pertama, para santri ditargetkan menguasai qawaaidul nahwu wa sharf sehingga mampu membaca kitab turats yang tanpa syakal, alias kitab kuning gundul.

Tahun kedua, para santri mendalami Ushul Fiqh, memahami kaidah istidhlaaal pengambilan dalil dan istinbathul hukmi, memahami kaidah pengambilan keputusan hukum pada suatu permasalahn fiqih.

Dan ditahun ketiga para santri akan diajarkani ilmubalaghah, ilmu tentang sastra arab dan ilmu  ilmu logika.

Para santri ini diproyeksikan untuk menjadi kader muballigh dengan kelilmuan yang mapan khas ulama salaf untuk membimbing umat di kampung mereka.

Maka benarlah bahwa pohon kebesaran hanya tumbuh subur di lahan yang disirami oleh tinta ulama dan darah syuhada.

Pondok salaf yang kita bebaskan ini adalah pondok kader, maka tempatnya harus jauh dari hiruk pikuk dunia agar lebih fokus.

Terima kasih Abang Kakak atas partisipasinya dalam proyek waqaf ini. Terima kasih  kepercayaa Abang Kakak sekalian.

Nantikan proyek waqaf selanjutnya. Adapun cuplikan video perjalanan kita kali ini InsyaAllah akan tayang lengkap di Mujahidin MadaniTv.

Demikian laporan kami.
H.M.Nurhasan, SE
Abdul Qodir Jaelani, SE
Roni Ramadhan, SEI