30 Juli 2016

ANGKER

0 comments
Kamis siang saya bertolak dari Gontor 2 desa Madusari menuju stasiun Madiun dengan ojek bertarif 70rb. Ini pilihan transportasi tunggal untuk menjangkau stasiun. Setiba di stasiun, saya mengecek tiket kereta di mesin KIOS-K. Tidak ada tiket kereta untuk sampai Jakarta, semuanya penuh. Kemudian saya mengganti stasiun asal, ternyata dari Tugu Jogja ada untuk sampai ke Gambir. Itupun baru ada dI Sabtu malam, harganya juga mahal, Kereta Bima kelas eksekutif.
Masih ada waktu untuk mengunjungi kawan lama di Solo. Sebelumnya Ustad Salim A. Fillah sudah memberi sedikit gambaran tentang Solo, kota satelit tempat bergolaknya berbagai pemikiran dan gerakan mulai dari ekstrim kanan sampai ekstrim kiri. Tapi saya masih penasaran. Ingin sekali main ke Taman Sriwedari, Pasar Kelewer, Keraton Surakarta dan Masjid Agung yang antik serta mencicipi kuliner bernama selat solo.
Perjalanan yang singkat, saya tiba di stasiun Purwosari Solo. Sempat singgah di Balapan, stasiun yang dulunya saya kenal hanya lewat lagu Didi Kempot. Mas Bujo ( bukan nama asli) kawan lama sudah menanti, menjemput dan kemudian kami bersama-sama membelah malam kota Solo melintasi sungai begawan yang kering karena surut dan masuk ke Karanganyar.
Mas Bujo bercerita, "aku kerja di Solo tapi tinggal di Karanganyar. Jaraknya cuman 45 menit. Aku ngontrak di sebuah rumah yang cukup besar. Cuman 7 juta untuk 2 tahun."
"Loh kok murah mas?" Saya bertanya.
"Itu rumah angker, tak ada yang mau mengontrak. Setelah lama kosong baru saya yang berani menempatinya"
Saya lalu mengalihkan pembicaran. Informasi angkernya sebuah rumah yang akan menjadi tempat saya menginap malam itu bisa menganggu ketenangan untuk beristirahat.
Kami tiba dirumah. Saya diajak masuk keruang tengah, ada TV disana yang letaknya dekat bawah tangga. Saya lalu meraba dindingnya, ternyata lembab. Tak ada jendela untuk menyinari area sekitar bawah tangga. Dibenak saya melintas sebuah anggapan, gelap dan basah. Sebuah area yang ideal untuk didiami hantu.
"Dir, diawal saya masuk sini, ada salip besar di dinding. Catnya suram, akhirnya saya ganti biar lebih cerah dan mengurangi kesan angkernya" kata Mas Bujo. Lagi-lagi saya mengabaikan topik tentang rumah lalu bertanya seputar kehidupan Mas Bujo selama ini.
"Saya tidur disini aja mas." Sembari menunjuk area depan TV dekat bawah tangga.
"Jangan Dir, kamu istrahat diatas saja. Di lantai 2 sudah saya siapkan kamar untuk kamu" Jawab Mas Bujo.
"Gpp Mas, saya tidur disini saja karena saya suka pipis tengah malam jadi tidak perlu naik turun tangga." Saya berkilah.
"Jangan Dir, disini bau dekat WC. Kalau malam dingin nanti kamu tidak bisa beristirahat dengan nyaman. Kamu diatas aja ya." Mas Bujo tak kalah sengit menegaskan ajakannya.
Kali ini saya menyerah, enggan berdebat. Sudah syukur saya mau dijamu. Saya lalu menurut dan naik keatas menaruh barang. Diatas ada dua kamar. Sangat gelap. Keduanya tampak lama kosong dan memang tidak pernah dihuni. Satu kamar dijadikan gudang, satu kamarnya lagi untuk saya. Di plafon kamar yang akan saya tempati ada lubang. Waduh kenapa nggak ditutup ya. Jujur saja, lubang seperti itu memantik imaji horor dibenak saya. Apalagi sebelum meninggalkan Pontianak, saya sempat menonton Conjuring 2, merekam image Valak.
Saya turun ke WC, mandi dan wudhu. Oh iya saya belum sholat Magrib-Isya. Saya menjamak dan sholat di kamar baru itu. Sengaja suara saya jaharkan. Upaya untuk melenyapkan suasana horror benar-benar serius saya jalankan dan sepertinya kurang berhasil. Saya teringat sunnah mengibaskan kain ke tempat yang akan kita tiduri sebanyak 3 kali sembari membaca shalawat. Ini saya lakukan juga.
Badan yang masih kedinginan karena mandi malam saya bungkus dengan jaket kemudian merebahkannya. Perjalanan hari ini melelahkan semoga saya bisa tidur nyenyak. Setengah jam saya memejamkan mata, sulit sekali untuk terlelap. Tak ada pilihan lain, saya butuh pengalih pikiran agar tidak berimajinasi macam-macam. Saya putuskan untuk membaca sampai tertidur.
Saya terbangun. Tidak biasanya seperti ini. Saya melihat jam, busyeet baru jam 12 malam. Saya pikir sudah masuk subuh. Ada apa ini !?!?
Diluar petir menggelegar, isyarat akan turun hujan lebat dan memang sekejap turun hujan deras. Saya baru sadar bahwa jendela kamar itu tak bertirai. Saya langsung dapat melihat hujan diluar. Harusnya kamar terasa dingin. Entah kenapa justru sebaliknya, saya merasa kepanasan.
Ini suasana tidak nyaman. Terbangun tengah malam dan kepanasan di sebuah kamar yang tak pernah berpenghuni sebelumnya. Saya putuskan untuk melawan nuansa mistik ini. Saya tidak ada pilihan lagi. Sudah berulang kali saya mencoba kembali tidur tapi gagal.
Seketika saya kesal dan marah terhadap entitas abstrak apapun yang mengusik istirahat malam itu. Saya menunggui dan menghadap jendela, berusaha menghadapi. Setengah jam berlalu, sejam juga tapi tak ada apapun. Saya lalu putuskan untuk hanyut kedalam bacaan yang belum tuntas sampai tertidur. Esok harinya, Jumat seharian saya menjelajahi kota Solo dan di malam kedua tidur di kamar yang sama. Alhamdulillah, nyenyak tanpa gangguan apa-apa.
Sabtu pagi sesaat sebelum meninggalkan rumah itu saya bertanya ke Mas Bujo. "Kata Mas rumah ini angker, Mas pernah ketemu penunggunya?"
Mas Bujo lalu bercerita, "Ada Dir, waktu itu pegantian malam tahun baru. Saya tidak keluar tapi istirahat di ruang tengah sampai tertidur depan TV. Kemudian saya terbangun dan melihat sosok tinggi besar, kepalanya tak nampak, bersarung hitam dari lantai dua tempat kamu tidur semalam, menuruni tangga tanpa menjejak. Sosok itu lalu berhenti dan menghadap ke arah saya tidur. Segala macam doa dan zikir saya baca waktu itu sambil menutup mata. Suasana horror sekali."
Saya lalu membenak sambil mengelus dada. Untung saja bagian cerita ini tidak saya dengar sebelum menginap di kamar itu.
Belakangan saya belajar bahwa melawan nuansa mistik bisa dimulai dari mengendalikan pikiran. Semacam diet pikiran. Alihkan sorotan kita maka dengan seketika keseraman akan sirna. Jika tak pernah tahu historinya, seangker apapun suatu tempat akan tetap terjamah juga. Kadang keangkeran adalah suatu mitos yang diproduksi berulang hingga menguasai alam bawah sadar kita. Mengacaukan pikiran dan merusak keyakinan. Salimul aqidah, kekuatan imanlah yang membebaskan kita dari segala mistik yang menjajah pikiran dan perasaan kita.

17 Juli 2016

Qismul Amni atau bagian keamanan Gontor

0 comments

Dalam kultur pondok yang militeristik seperti Gontor maka kedisplinan adalah inti dari berjalannya sistem. Bagian yang menjaga sistem untuk tetap pada khittah-nya bernama "qismul amni" atau bagian keamanan. Merekalah yang menegakkan aturan, menindak santri yang melanggar hingga memberikan iqob atau hukuman. Model iqobnya bermacam-macam seperti membersihkan dapur, WC umum, menghafal kosa kata dan hukuman paling fatal adalah dicukur botak dan dipecat sebagai santri karena tiga pelanggaran berat : mencuri, menyontek, berkelahi.
Membedakan santri petugas qismul amni dengan santri biasa adalah letak menggantungkan sejadahnya, mereka menggantungnya disebelah kiri sedang keumuman santri di sebelah kanan dan terlarang bagi santri biasa mengubah posisi sajadah. Ini standar sakral yang tidak boleh diganggung gugat.


Hal menarik dari qismul amni ini adalah aspek wibawa mereka di mata santri biasa. Tanpa kata hanya dengan isyarat dan tanda, santri sudah mafhum instruksinya. Misalnya jelang 10 menit azan sholat berkumandang maka qismul amni selalu melakukan ritual menaruh sepeda di depan masjid seperti pada gambar ini sambil berdiri mengedarkan pandang, menenteng map merah yang berisikan daftar pelanggaran santri. Santri biasa yang dari jauh melihat petugas qismul amni langsung bergegas berlarian kecil menuju masjid.
Wibawa seperti ini dalam sistem pendidikan klasik dibangun dengan kekerasan fisik yang dimitoskan seperti tempeleng atau tendangan putar, namun seiring berjalannya waktu dengan modernisasi pendidikan pondok maka wibawa ini terbangun cukup dengan aspek keteladanan dan keilmuan. Santri senior disegani karena keteladanan dan keilmuan mereka.
Mahasiswa senior di perguruan tinggi ataupun siswa senior di sekolah umum boleh mencontoh cara ini, membangun wibawa dan pendidikan karakter tanpa perlu menyelenggarakan ospek atau MOS yang primitif dengan bullying, kekerasan fisik dan verbal, bentak-bentak tidak jelas. Semua model senioritas yang ingin eksis dengan hanya bermodalkan bullying harus dilawan di kampus-kampus perguruan tinggi ataupun di sekolah-sekokah umum.
Dalam gambar terlihat petugas qismul amni sedang berbicara dengan ustadz-ustadz Gontor yang mengendarai motor. Posisi ustadz adalah maqom terhormat dimana semua santri akan berinteraksi dengan sangat sopan dan penuh adab.


2 Juli 2016

Logam adalah Kita

0 comments
Sekitar 6 tahun silam, tepatnya ditahun 2010 saya mendengar ceramah yang sangat berbobot dari seorang tokoh politik islam yang menggunakan dialek khas bahasa ibu yang sangat saya kenali, Anis Matta namanya. Sejak saat itu saya selalu mengikuti "insight" sang tokoh yang kaya akan perspektif segar. Wabil khusus ketika membahas sejarah.
Kala itu Anis Matta merekonstruksi sejarah bagaimana RasuluLlah "taqwim ar rijaal", membentuk manusia-manusia yang ia bina disekelilingnya. Mengubah mentalitas mereka dari bangsa terbelakang yang hidup nomaden, lawless (tanpa konsensus hukum yg mengikat) , barbar dan sangat keras menjadi bangsa penakluk yang punya visi menebar rahmat bagi alam semesta.
Kala itu poin yang paling menarik bagi saya adalah perspektif Rasul dalam memandang manusia. Anis Matta menyetir sebuah hadis bahwa "An Nasu kal ma'aanin, khiyaruhum fil jahiliyah, hiyaarihum fil islaam", manusia itu ibarat tambang, sebaik-baik mereka kala masih jahiliyah akan tetap yang terbaik ketika sudah hijrah ke Islam.
Bagi saya ini keren sekali, sebuah pemaknaan revolusioner. Rasul melihat manusia laksana entitas tambang yang punya potensi. Selanjutnya, potensi ini jika berada dalam bimbingan yang tepat akan menemukan momentum lesatannya. Melaju sampai ke titik maksimal potensinya.
Pembahasan seorang teman tentang esensi logam dalam defenisi ilmu metallurgy mempertajam pemaknaan manusia sebagai tambang itu. Bahwa kita adalah logam. Salah satu entitas tambang yang berharga.
Kita adalah Logam, kenapa?
“Metal is a solid material which is typically hard, malleable, fusible, and ductile, with good electrical and thermal conductivity.”
Dikatakan 'typically hard' karena kita kuat, tabah, teguh dan utuh. Malleable, karena kita boleh 'dibentuk' melalui tarbiyah. Fusible, karena kita bisa bersatu dan menjadi satu kesatuan. Lalu ductile, karena kita bisa berubah-ubah. Meskipun ditimpa musibah, kita bisa tetap kuat dan utuh karenanya.
... with good electrical and thermal conductivity, karena kita mampu mengalirkan kebaikan kepada siapa saja.
”Manusia seperti logam, karena yang pernah menjadi terbaik di masa jahiliyah, bisa menjadi yang terbaik pula di masa tarbiyah!"
Semoga Ramadhan ini dengan amal itikaf bisa jadi momentum pembentukan kapasitas unggulan diri kita sebagai muslim yang sedang berporses seperti kata Gurunda Salim A.Fillah ;
Alangkah syahdu menjadi kepompong; berkarya dalam diam, bertahan dalam kesempitan.
Tetapi bila tiba waktu untuk jadi kupu-kupu, tidak ada pilihan selain terbang menari, melantun kebaikan di antara bunga, dan menebar keindahan pada dunia.
Alangkah damai menjadi bebijian; bersembunyi di kegelapan, menanti siraman hujan, menggali hunjaman dalam-dalam.
Tetapi bila tiba saat untuk tumbuh dan mekar, tidak ada pilihan kecuali menyeruak menampilkan diri; bercecabang menggapai langit, membagikan buah manis di setiap musim pada segenap penghuni bumi.
I'tikaf para pejuang adalah perhentian sejenak mereka untuk menyambungkan hidup dengan Yang Maha Hidup, menadah kekuatan dari Yang Maha Kuat, untuk melanjutkan perjuangan dan menuangkan pengorbanan di bumiNya yang menanti kiprah.
Selamat menjemput kemenangan.