18 September 2013

Pujian

Ibarat parfum, mungkin begitulah pujian sebenarnya bekerja, sikap kita yang rasional hanya sebatas menciumnya tidak sampai meminumnya. Boleh jadi ada masa-masa labil dimana kita dan nyaris semua orang begitu “haus” untuk menerima apresiasi ataupun pujian untuk mendapat “pengakuan” atas apa yang pernah kita capai atau sedang lakoni.

Pada dasarnya, Pengakuan ini menjadi penting, setiap orang pada dasarnya ingin dikenal “sebagai apa”, atau ingin diketahui “sedang melakoni apa”. Pengakuan laksana asupan jiwa yang membuat penikmatnya melayang diawang-awang atau sekedar nyaman melakoni kehidupannya, asal eksistensinya “diakui”. Bahkan bagi yang sudah candu akan pujian , akan menjadikannya sebagai tujuan dari semua aktivitas : Demi Pujian!

Maka boleh dicatat “Rumus Menyikapi Pujian” yang diwarisi turun-termurun dari Guru-Guru Peradaban, bahwa :
1. Memuji diri sama dengan menjatuhkan kehormatan dan itu lebih besar dari kehinaan yang diperoleh jika sekiranya kita dicaci seluruh penduduk bumi.
2. Pujian tulus yang datang dari seseorang sama dengan Kabar gembira yang dipercepat Allah, maka biasakan gumam “Kalimat thayyibah”, semisal “Subhanallah, MasyaAllah,La Quwwata Illa BiLlah, AstagfituLlah” dst.
3. Orang terpuji akan seketika menjadi hina ketika mulai memuji diri sendiri.
4. Betapapun hebatnya seseorang , jika terlalu mendramatisir diksi “Aku” dalam setiap pencapainnya, maka orang tersebut sedang bergerak dari sosok yang “memukau” menjadi sosok yang “memuakkan”

Dan inilah batasan-batasan yang diajarkan Guru-guru terbaik untuk mulai kita jaga, ketika semua orang setiap detiknya secara massif rela membagi informasi diri via sosmed & sejenisnya. (AQJ)

0 comments:

Posting Komentar