16 April 2011

POSITIONING MUSLIM KAFFAH

Normalnya, Keshalehan sangat mudah kita temui dalam keadaan yang sudah terkondisikan seperti di Pesantren, Masjid atau wadah-wadah yang kental dengan nuansa islamnya, godaan yang akan kita dapatkan pun tidak sebesar gelombang godaan atau cobaan kalau kita sudah hidup membaur ke masyarakat yang heterogen, yang tentu keshalehan akan samar-samar terlihat...tapi disinilah istimewanya sosok-sosok yang bisa tetap tegak , istiqomah di tengah terjangan badai sekularisme dan liberalisme di semua sisi kehidupan yg dilaluinya...dan disinilah kadar iman sebenarnya diuji imunitasnya...Sejauh mana kita bertahan dan sejauh apa kita bisa menempatkan diri kita sebagai Muslim yang menjunjung tinggi syari'at tanpa harus "menghinakan" atau bahkan sampai "melaknat" orang-orang yang "terlihat" oleh Pandangan kita yang khilaf ini sebagai orang yang berdosa (Padahal yang menghinakan, melaknat dan mengecap org berdosa hanya Allah SWT)

Berikut saya lampirkan sebuah ulasan dari Ustad Farid Nu'man  yang sangat apik tentang : Yakhtalithun Walakin Yatamayyazun yang kira-kira bisa kita artikan seperti ini : Berbaur Tapi Tetap Beragam/Berbeda

Lets Check This Tauhij Out :

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ هَلَكَ النَّاسُ فَهُوَ أَهْلَكُهُمْ

Jika seseorang berkata ‘Manusia telah rusak’  maka dialah yang lebih rusak dari mereka.”
(HR. Muslim No. 2623)
Mukadimah


Seringkali jiwa kita marah, emosi meluap, bahkan pernah memaki, ketika melihat fenomena penyakit masyarakat yang kian hari semakin parah. Angka perzinahan, pergaulan bebas, korupsi di atas dan bawah, perjudian, acara televisi yang minim keteladanan, bid’ah dan kemusyrikan. Ingin rasanya melakukan perubahan cepat dan mengembalikan mereka kepada fitrah (Islam) yang benar. Tapi, sering pula hanya sebatas itu yang kita lakukan; marah, emosi, dan memaki. Tak ada aksi perbaikan, tetapi perdebatan, tak ada doa, tetapi  celaan. Tidak. Masyarakat tidak membutuhkan perdebatan dan celaan, mereka membutuhkan uluran tangan dan doa para mushlihun.
Tahan Lisan Jangan Sok Suci

               
Hadits di atas mengajarkan kita untuk menahan lisan dari mencela masyarakat dan memandu agar  tidak merasa lebih benar dan suci, baik dari sisi akhlak, pemikiran, ibadah, dan lainnya. Justru sikap itulah yang menunjukkan kekurangan kita; sombong.


                Oleh karena itu, Imam An Nawawi menjelaskan:   
وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّ هَذَا الذَّمّ إِنَّمَا هُوَ فِيمَنْ قَالَهُ عَلَى سَبِيل الْإِزْرَاء عَلَى النَّاس ، وَاحْتِقَارهمْ ، وَتَفْضِيل نَفْسه عَلَيْهِمْ ، وَتَقْبِيح أَحْوَالهمْ ، لِأَنَّهُ لَا يَعْلَم سِرّ اللَّه فِي خَلْقه . ق

               
Para ulama sepakat bahwa celaan dalam hadits ini adalah bagi orang yang ucapannya itu dimaksudkan untuk mencela manusia, merendahkannya, dan mengutamakan dirinya di atas mereka, dan memburukkan keadaan masyarakat, lantaran dia tidak tahu rahasia Allah Ta’ala atas hambaNya.”
                Namun jika ungkapan tersebut karena kesedihan meratapi masyarakat karena faktor agama, maka sebagian ulama membolehkannya.

                Beliau melanjutkan:

 َالُوا : فَأَمَّا مَنْ قَالَ ذَلِكَ تَحَزُّنًا لِمَا يَرَى فِي نَفْسه وَفِي النَّاس مِنْ النَّقْص فِي أَمْر الدِّين فَلَا بَأْس عَلَيْهِ
Mereka mengatakan: Ada pun jika siapa yang mengatakannya karena kesedihan terhadap apa yang dilihatnya pada dirinya dan manusia berupa kekurangan dalam urusan agama, maka hal itu tidak apa-apa.” (Lihat semua dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/463. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Sikap sebagian da’i yang senang menyerang kaumnya sendiri, mencela agama dan kepribadian mereka, adalah sikap yang sama sekali tidak memberikan solusi apa pun. Lalu, ia menjauh dari masyarakat  dengan alasan menghindari noda dan fitnah. Memandang manusia sekitarnya dengan pandangan rendah dan perasaan  jijik. Bukan begitu sikap da’i petarung, bukan demikian sikap da’i penyabar.

Allah Ta’ala berfirman:
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
                “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An Najm (53): 32)



Membaurlah, Tetapi ...
                Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendapatkan gelar Al Amin (terpercaya) dari masyarakatnya sejak  sebelum masa bi’tsah (pengangkatan menjadi Rasul). Gelar itu selalu melekat kepadanya hingga akhir hayatnya; walau di mata musuhnya sendiri. Ketaqwaannya, kesucian akhlaknya, kekhusyu’annya dalam beribadah, sama sekali bukan penghalang untuk membaur dengan masyarakatnya. Tentunya gelar ini didapatkan melalui interaksi, bergaul, dan menyelami kehidupan masyarakatnya dan berempati dengan permasalahan mereka.  Selain itu, gelar ini juga menunjukkan bahwa Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bukan hanya membaur (yakhtalit) tetapi juga tetap istimewa dan memiliki kemuliaan dan nilai  tersendiri (yatamayyazun).  Sebab, betapa banyak da’i yang  membaur, tetapi tidak dikenal sebagai Al Amin, atau gelar baik lainnya. Justru melekat pada mereka julukan yang tidak sedap; tukang hutang, tidak amanah, jam karet, jarang ke masjid, dan lainnya.

                Pada masa sebelum bi’tsah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berkumpul di rumah Abdullah bin Jud’an tokoh kafir qurasiy saat itu bersama kafir Qurasiy lainnya. Pertemuan itu diistilahkan dengan Hilful Fudhul.

                Rasulullah juga pernah memberikan makan dan menyuapi sendiri makanan tersebut kepada seorang nenek buta yang sangat membencinya. Nenek ini selalu mempengaruhi orang lewat agar hat-hati dengan seorang bernama Muhammad. Tetapi, justru Rasulullah yang memberikannya makan dan menyuapinya. Dan, masih banyak contoh lainnya.

                Yang jelas, dengan membaur di tengah manusia seorang da’i akan mendapatkan keutamaan dan  memberikan banyak manfaat pada banyak amalan-amalan yang disyariatkan seperti; shalat berjamaah, mengurus jenazah, menjenguk orang sakit, mengajar atau belajar, majelis dzikir, silaturrahim, dan suhbatush shalihin (bersahabat dengan orang shalih). Sehingga, dia bisa memperoleh kesempatan untuk meraih posisi sebagai manusia terbaik.

                Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
و خير الناس أنفعهم للناس


     “Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi manusia.” (Syaikh Al Albani menyatakan: Hasan shahih. Lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 426. Darul Ma’arif)


Membaur di tengah masyarakat,  tetapi mampu bertahan dari fitnah yang ada pada mereka, adalah lebih utama dibanding ‘uzlah (mengasingkan diri). Imam An Nawawi menegaskan  dalam Riyadhushshalihin tentang keutamaan membaur dengan manusia dan ikut dalam perkumpulan mereka, menyaksikan kebaikan, bermajelis dzikir bersama mereka, menjenguk yang sakit, mengurus jenazah, membantu kebutuhannya, dan semua bentuk kemasalahatan lainnya bagi yang mampu beramar ma’ruf nahi munkar, menahan diri dari berbuat jahat dan bertahan pula dari bentuk kejahatan manusia.

                Lalu Imam An Nawawi Rahimahullah melanjutkan:

اعْلم أنَّ الاختلاط بالنَّاسِ عَلَى الوجهِ الَّذِي ذَكَرْتُهُ هُوَ المختارُ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وسائر الأنبياء صلواتُ اللهِ وسلامه عَلَيْهِمْ ، وكذلك الخُلفاءُ الرَّاشدون ، ومن بعدَهُم مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ ، ومن بَعدَهُم من عُلَماءِ المُسلمين وأَخْيَارِهم ، وَهُوَ مَذْهَبُ أكثَرِ التَّابِعينَ وَمَنْ بَعدَهُمْ ، وبه قَالَ الشافعيُّ وأحمدُ وأكثَرُ الفقهاءِ  رضي اللهُ عنهم أجمعين. قَالَ اللهُ تَعَالَى: { وَتَعَاوَنُوا عَلَى البِرِّ وَالتَّقْوَى } [ المائدة : 20 ] والآيات في معنى مَا ذكرته كثيرة معلومة .


Ketahuilah, bahwa membaur dengan manusia dengan cara seperti yang telah saya sebutkan, adalah sika pilihan yang di atasnya Rasulullah  Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berada, juga semua para Nabi Shalawatullah wa salamuhu ‘Alaihim, demikian juga para khulafa’ur rasyidin, dan yang setelah mereka dari kalangan sahabat dan tabi’in, dan yang setelah mereka dari kelompok ulama Islam dan manusia-manusia terbaik mereka, dan inilah madzhab mayoritas tabi’in dan manusia  setelah mereka. Inilah pendapat Asy Syafi’i, Ahmad, dan mayoritas fuqaha Radhiallahu ‘Anhum ajma’in. Allah Ta’ala berifirman: “Saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan.” (QS. Al Maidah (5): 20). Dan ayat-ayat yang semakna sebagaimana yang telah saya sebutkan banyak jumlahnya dan terkenal. (Lihat Riyadhushshalihin Hal. 210. Cet. 3. 1998M – 1419H. Muasasah Ar Risalah. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arna’uth)
Ghuraba Itu Bukan ‘Uzlah


                Orang-orang terasing (ghuraba) bukanlah orang yang lari dari kenyataan hidup, menyendiri di pegunungan dan tepi pantai. Itu bukan ghuraba,  melainkan gambaran orang-orang kalah. Ghuraba adalah orang-orang yang tetap melakukan perbaikan di tengah-tengah masyarakat yang rusak, dan mereka senantiasa menghidupkan sunah dan mengajarkannya kepada manusia. Mereka terasing karena keunikan dan keistimewaan sikap hidup mereka. Mereka memperbaiki ketika manusia merusaknya, mereka menghidupkan sunah ketika manusia mematikannya, mereka memberantas kesyirikan dan khurafat ketika masyarakat menyuburkannya, mereka memerangi kebatilan ketika masyarakat menjadi pembelanya, mereka memenuhi masjid ketika masyarakat menjauhinya, mereka menangis di tengah malam menghadap Rabbnya ketika manusia mengisi malamnya dengan hura-hura dan maksiat, mereka menyiapkan diri untuk berjihad ketika manusia meremehkan dan mencela jihad. Demikianlah ghuraba dan beruntunglah mereka.

                Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ


               
Pertama kali muncul, Islam dianggap asing (gharib), nanti dia akan dianggap asing lagi seperti awalnya. Maka, beruntunglah orang-orang terasing itu.” (HR. Muslim No.145. Ibnu Majah No. 3986. Abu ‘Uwanah dalam Mustakhraj No. 221. Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 7493, dari Abu Said Al Khudri. Al Qudha’i dalam Musnad Asy Syihab No. 982, dari Ibnu Umar. Abu Ja’far Ath Thahawi, Musykilul Atsar No. 588, dari Anas bin Malik )


                 Dalam riwayat lain, dari Abdurrahman bin Sannah Radhiallahu ‘Anhu,   dia mendengar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا ثُمَّ يَعُودُ غَرِيبًا كَمَا بَدَأَ فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ الْغُرَبَاءُ قَالَ الَّذِينَ يُصْلِحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ
Pertama kali muncul, Islam dianggap asing (gharib),  kemudian dia akan dianggap asing lagi seperti awalnya. Maka, beruntunglah orang-orang terasing itu.” Ditanyakan: “Wahai Rasulullah siapakah ghuraba itu?” Beliau menjawab: “Orang-orang yang melakukan perbaikan ketika manusia merusak.” (HR. Ahmad No. 16094. Ibnu Baththah, Ibanah Al Kubra No. 30, dari Abu Hurairah. Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal, No. 1201. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 1273 )


Apa yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam katakan ini telah menganulir pemahaman yang keliru tentang ghuraba. Memperbaiki masyarakat yang rusak tidak bisa menjauhi mereka, seorang dokter harus memeriksa langsung pasiennya, pemadam kebakaran tidak bisa menyiram di luar jangkauan pancaran airnya. Itu semua tidak menyembuhkan penyakit dan tidak pula  mampu memadamkan api.  Maka, mendekatlah dan membaurlah dengan masyarakat, dan bersabarlah dan bertahanlah atas fitnah dan cobaan di tengah-tengah mereka. Jadilah cermin yang tertimpa air, bukan spons.  Itulah ghuraba.

Wallahu A’lam

0 comments:

Posting Komentar