Bismillah...
tulisan ini saya coppas dari seorang ukhtifillah, pokoknya subhanallah semoga kita dikumpulkan di surga-Nya..aamiin...semoga bermanfaat...
...
"90% syuro, 10% ilmu"*
oleh Yurisa نورهداية pada 18 Februari 2011 jam 23:43
Saya tidak ingin bertele-tele. Bahwa saya sangat menikmati kehidupan pasca lembaga.
Saya bisa menimba ilmu lebih banyak, saya merasa menjadi pembelajar yang sebenarnya. Hidup saya lebih normal dengan pemenuhan hak ilmu yang selama ini saya zhalimi.
Sejenak berpikir, alangkah para aktivis dakwah kampus (ga semuanya sih, yang ga ngerasa ga usah tersinggung ya.. Hehe) miskin ilmu tapi kaya syuro. Tak terbayangkan bila satu orang diberikan amanah lembaga yang doble triple, syuro mungkin udah kayak minum obat. Pagi syuro, trus kuliah, trus ada syuro, trus kuliah, trus nyuci, trus ada sms dadakan yang isinya taklimat mas'ul, trus pergi lagi. Di dalam dadanya gegap gempita "saya akan berdakwah Ya Allah".
Apalagi kalo jadi pimpinan besar di lembaga ato tokoh yang lumayan aktif di kampus, para senior sudah berbinar-binar siap-siap nembak buat ditempatkan di amanah yg selanjutnya. Pake dalil kekekalan amanah: amanah tidak akan hilang, hanya berpindah dari satu amanah ke amanah yang lain. Kalo ga mau, akan ada gencatan dari berbagai penjuru supaya siap, mau ga mau, ini demi dakwah, katanya. InsyaaAllah, kalo soal kuliah, pasti Allah akan menolong. Sungguh prasangka yang sangat baik, tapi menurut saya agak menyedihkan.
Yang di atas cuma deskripsi ekstrim yang mungkin kenyataannya ga selebay itu, ato mungkin aja ada yang lebih lebay. Hmm..mungkin ga salah dengan pola syuro full day, tapi ada satu syarat: apakah hak ilmu kita sudah terpenuhi? Bukan ilmu kampus doang, ilmu yang dipakai buat berdakwah itu lho.. Tidak semua dari ADK berasal dari pesantren dengan bekal ilmu yang luar biasa, yang bahasa arabnya udah di luar kepala, yang hafalan qurannya ga cuma 3 juz dari belakang. Kalau memang bekal ilmu sudah tumpah ruah, maka syuro all day dan malamnya benar-benar maksimal buat ilmu&ibadah, okelah. Tetapi mirisnya betapa banyak ADK yang lebih memprioritaskan syuro dibanding kajian-kajian. Udah ngaret, sepi lagi. Ketika ditanya ttg fiqih cuma bisa senyum-senyum. Ketika diajak ngobrol tentang pemikiran Islam, cuma cengar-cengir. Ketika ditanya hafalan Quran, tiba-tiba langsung batuk-batuk. Ketika disuruh baca Al Quran, tajwidnya masih ala kadarnya. Ketika ditanya seminggu ikut berapa kali kajian, jawabnya cuma sekali itu pun sebenarnya liqo pekanan. Sibuk jadi panitia seminar, tapi ga ngerti isinya apaan. Ketika ditanya definisi syahadat dan bagaimana penjelasan dari segi bahasanya, baru nyadar kalo ga ngerti-ngerti amat. Ketika ditanya buku fiqh apa yang sudah tamat dibaca, ternyata jawabannya kitab Google. Ketika ditanya buku tafsir apa yang dipunyai sebagai pegangannya, jawabannya sama: tafsir Google. Ketika diminta kultum, kultum Google. Alangkah hebatnya aktivis dakwah kampus, syuro lari sana-lari sini, permasalahannya seputar VMJ, tugas-tugas kuliah kurang jadi prioritas, di kelas ngantuk dan ga dapet apa-apa, akhwat pulang malam-ikhwan ngebiarin aja, problematika lembaga biasanya miskin kader atau gontok2an sama rival, ngapalin Quran cuma di sisa-sisa tenaga padahal fesbukan selalu sempet, kajian kalo sempet doang padahal tau kalo dirinya miskin ilmu, belajar bahasa Arab baru level syukron-afwan-jazakallah-akhi-ukhti. Sebenarnya kita mau mendakwahi apa sih, kawan-kawan? Udah lulus mau ngapain sih?
Udah ga musim lagi aktivis dakwah punya IP di bawah rata-rata, telat kuliah, bolos karena alasan syuro.
Kalo gitu ga usah kuliah aja. Malu-maluin. Jadilah aktivis dakwah saja, bukan aktivis dakwah kampus. Biar kuliah ga terzhalimi, lembaga jadi lebih fokus. Kecuali kalo ngampus tujuannya biar dapet ijazah, ya "bolehlah". Hehe. Kayaknya saya fatalis banget ya? Saya hanya kasian dengan teman-teman ADK jika dari tahun ke tahun polanya sama. Menganggap syuro lebih mulia dibanding menuntut ilmu. Tidak adil dalam membagi pola waktunya, antara ilmu dan lembaga dakwah kampusnya. Udah ilmu keprofesiannya ga bagus-bagus amat, IP standar, ilmu da'awiy nya juga minim. Yang paling sedih jika kuliah di fakultas ilmu sosial-humaniora tapi ga paham pemikiran Islam. Itu sama aja mau menyelam ke lautan tapi ga bisa berenang. Akhirnya kelelep.
Percayalah, Hasan al Banna berdakwah berdasar ilmu yang ga instan.
Udah ah,
Mungkin saya hanya iri dengan sekelompokan kawan-kawan saya yang begitu memurnikan aqidahnya dan tumpah ruah ilmunya.
Semoga kita bukan termasuk ADK yg instan.
Yang kuat karena lingkungan, namun rapuh ketika sendirian.
semoga tulisan ini bukan efek post power syndrome..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar