13 Februari 2011

TEATERIKAL KEBERSAMAAN MA’HAD (IMMIM)

oleh Kakanda  Awal Mahigan angkatan 942

Lari  dari kampus… Pagi, siang, sore dan malam, Jejak-jejak kaki itu menyusuri batas dinding, memanjat tembok, melompat pagar, lewat jendela kelas dan menyisir jalan selokan, semuanya dilakukan hanya untuk meraih sejenak apa yang disebut dengan kebebasan dan kemerdekaan.

Hanya dengan mengikuti arus air mengalir sampailah kami pada salah satu mulut kebebasan, sebuah lubang yang terletak antara asrama Ibnu Khladun (Ibenk) dan sebuah bangunan angker (WC 20), celana digulung dan setapak demi setapak udara luar semakin dekat, kesenangan itu memuncak dengan tarikan nafas kelegaan, walau harus menghirup sebentar, walau harus merasakan kenikmatannya yang sesaat. Kemerdekaan dan kebebasan telah diraih dengan berjuang melawan kunkungan dan Hegemoni Senior. Harus berjibaku dengan bau sawah, kanal dan kotoran, belum lagi bertemu dengan makhluk2 aneh seperti ; biawak, tokke, lintah dan belut… LENGKAP SUDAH PENDERITAANNYA… Haha..,

kebebasan dan kemerdekaan pun menjadi lafaz sakti yang senantiasa diimpikan, sekabur apapun maknanya. Istilah kebebasan dan kemerdekaan umumnya memang dipahami sebagai keadaan dimana seseorang bebas dari dan untuk berbuat atau melakukan sesuatu.  Tapi Kebebasan dan kemerdekaan kami di Ma’had sendiri adalah simbol-simbol yang tidak memiliki padanan arti, dan sangat sulit untuk mendefinisikannya..??? mungkin karena kami sendiri tak paham dengan kebebasan dan kemerdekaan yang kami dambakan…

Ajaib.., puncaknya setelah lama terhimpit dengan kebersamaan, kami pun tak ingin berpisah dengan kehidupan Ma’had walau kebebasan dan kemerdekaan itu harus tampil dengan wajah seperti mutiara manikam sekalipun.!!. sungguh wajah-wajah meradang ketika kebebasan itu tinggal menghitung sisa-sisa kebersamaan..

Tahun 1997, episode perpisahan pertama itu dimulai, saudara-saudaraku yang 3 tahun bertilam dalam romantika kebersamaan di Ma’had harus berakhir dengan air mata perpisahan.. yang menetap siap melanjutkan karir sebagai senior dengan tinggal menunggu setahun untuk menduduki posisi2 penting dalam OSIS dan ISPM, sedangkan yang pergi harus meninggalkan ukiran di dinding dan lemari-lemari asrama. Kalau bukan ‘Don’t Forget Me’, pasti  ‘laa tanzani..’ (jangan lupakan saya). Uniknya tulisan-tulisan itu begitu banyakkkkk….(pada gak kreatif mentong ko dulu) hehe…, hampir semua yang pergi tulisannya sama. Tapi itulah cindera-cindera yang terukir mewakili kejujuran hati karena cinta dan persahabatan..




Waktu kemudian berlalu dan datanglah wajah-wajah eksperimen, saudara baru yang menjadi bagian dari diri kami. Sayang, dua tahun setelah itu, Episode kedua perpisahan menampakkan wajahnya yang sedu. 1999, Jendela kaca pecah oleh lemparan batu dan kepalan tangan. Mereka  yang kukenal diam harus berteriak dan berubah suaranya menjadi lantang, belum lagi sebagian Shohib  yang selama itu terlihat diplomatis dan selalu menamkan wibawa harus menangis sepanjang jalan seperti rengekan anak kecil yang minta mainan. Huft.., Teaterikal itu menampilkan wajah-wajah antagonis tapi hati tetap telenovela, wajah sangar tapi hati tangisan sinetron..  hihi.. yaskutu haiba…, Akumulasi kekecewaan menggema, walau wibawa harus jatuh di depan santri junior..

Inilah Tahun Konsekuensi yang harus diterima sebagai ganjaran atas kenakalan dan kesalahan sebagian dari kami kepada para ustadz dan ustadza yang selama ini membimbing dan mendidik kami.
Benarlah apa yang dikatakan pepatah “Siapa yang berdiri dengan kemarahan, maka ia akan duduk dengan penyesalan” (bil khusus Alm. Ust. Syaifullah.. eks Direktur Pesantren Modern IMMIM Putra. Afwan atas keburukan dan perilaku kami yang tidak menunjukkan akhlak dan etika santri.  Jazahullah khairul jazaa, semoga amal ibadahnya diterima dan mendapat tempat yang layak di sisiNya.. Aamiin)




Ma’had menjadi ibu bagi kami. Ketika pertama datang padanya, kami menjadi seperti anak burung yang selalu ingin terbang bebas meninggalkan ibunya, Menjadi anak batu yang kecil maupun besar tetap saja sifatnya keras. Namun setelah menjadi dewasa seperti anak pisang yang selalu ingin mengitari induknya.

Rukun itu selalu dipenuhi. Ada An Nafyu, maka harus ada Al Itsbaat. Ada penafian pada segala, maka ada penetapan pada satu saja. Ada yang bebas, ada yang diikat, ada yang diulur, maka ada yang dicencang. Ada yang dibenci, maka ada yang dicintai. Ada perpisahan, maka ada kebersamaan. Selalu begitu dan selalu begitu..

cerita-cerita generasi Islam terdahulu pun demikian, begitu gemilang dalam kebersamaan, ketika keimanan benar-benar telah mengikat hati para hamba Allah dalam kasih sayang yang menggetarkan, maka ia bukanlah ikatan-ikatan semu : darah, kabilah, kewilayahan, ras dan warna kulit menyatu dalam kebersamaan. Islam memproklamairkan sebuah majelis mulia yang di sana duduk sejajar mesra Abu Bakar bangsawan Arab, Shuhaib imigran Romawi, Salman pengembara Persia, dan tentu juga Bilal bekas budak negro Habasyah.

Generasi pertama ummat itu begitu menghayati ikrar kebersamaan, Muhajirin dan Anshar pun menjadi dua bendera Islam yang menyuguhkan kebersamaan paling indah dalam sejarah..

“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang (Anshar) yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin) mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia. (QS.8 : 74)

Islam telah mengajarkan kebersamaan, maka hiruk pikuk madrasah Islam (Ma’had) pun bercengkrema dengan suasana Islam itu, Ada yang lembut seperti Abu Bakar ada pula yang hitam namun suaranya merdu bak Bilal.., ada yang keras dan tegas seperti Umar, dan ada yang pemalu seperti Utsman. Di sana berkumpul barbagai macam karakter, ras, wilayah dan suku.

Kerelaannya luar biasa, walau tak sama dengan pemberian Anshar kepada Muhajirin.., tapi kesediaan membagi tawas, handuk, celana mandi, piring, gelas dan sendok jadi milik bersama sudah cukup menggambarkan kebersamaan, hehe..

Tahun 2000, kisah ma’had sebagian dari kami  telah berakhir, tak pernah terekam dan melihat dirimu menghadapi detik2 kebebasan dan kemerdekaan itu..

Bukankah kita dahulu ingin sekali bebas dan merdeka ??? tapi mengapa pula kaki terasa berat saat benar-benar meninggalkannya ??? mengapa wajah harus kembali menoleh lambang bulan dan bintang yang bersahaja di kurun kenangan hati ??  Berat saat memori langkah kaki terakhir bersama koper dan rangsel keluar melewati batas pagar besi yang dahulu begitu bersahabat. ??

Kebebasan dan kemerdekaan itu telah kita raih bersama dan yang tersisa kemudian hanya air mata rindu...




Di sanalah At Thalabah itu, tempat ruku dan sujud berjamaah. Harus berlari agar tidak masbuk. Pancuran airnya pun menjadi saksi antrian ahlul fajar yang menahan ngantuk di waktu subuh. Mimbarnya menjadi saksi kafilah yang memohon iba, dan ia menggerakkan laskar-laskar muda Islam yang Tholabul Ilm, mulai matahari terbit sampai tenggelam.
Di sana juga kami mengaji yang oleh Nabi SAW disabdakan majelis/forum dan halaqah Al-Qur’an sebagai Taman surga dunia.. (HR. Tirmidzi), dan sudah sekian tahun lamanya kita berpisah dengan halaqah-halaqah itu. Masjid dimana kita membaca dan tadarus Al-Qur’an yang oleh Nabi SAW bagi orang-orang yang berjamaah membaca Al-Qur’an tersebut mereka dianugerahi ketenangan, diliputi rahmat, dikeremuni malaikat, dan dibanggakan Allah di hadapan para MalaikatNya.. (HR. Muslim)

“..mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari…” (Ali Imran : 113)

Adakah warna kehidupan kita sekarang seperti dahulu ??? mungkin iya, mungkin juga tidak ???


Jika hidup di dalamnya semua terdapat amalan yang mendamba surga, adakah kita ingin bebas dari keadaan seperti ini ?? Wallahi.. sekali-kali TIDAK!!!, jika Hidayah datang merobek jantung kebodohan …, maka dawai itu pasti kembali membawa sekarung kerinduan…  Kerinduan yang merekam kelezatan Iman yang hidup di dalamnya, aroma ukhuwa, wewangian surga, tilawah Al-Qur’an ba’da Maghrib, serta senandung  Asmaul Husna.

Yang jelas.., di Ma’had itulah telur kebersamaan menetas, melahirkan persaudaraan dan perjuangan.., musnah segala khawatir dan takut, hilang gelisah, resah dan kalut. Karena kebersamaan yang kita ukir begitu meneguhkan. Ia bersandar dengan kekuatannya karena Allah, Dzat yang telah meridhoi kebersamaan dan persaudaraan Islam.

Kebersamaan dalam ikatan aqidah akan mengikrarkan sebuah perjuangan untuk menegakkan aqidah. Tiada kemulian tanpa perjuangan. Sebuah kaidah telah digoreskan di sana. Bahwa aqidah ini adalah mulia, dan Islam akan mulia dengan perjuangan para penegaknya. Maka perjuangan pertama yang harus kau tegakkan adalah melawan nafsu diri agar mampu bersabar dalam kebersamaan

0 comments:

Posting Komentar