Ini kursi yang diduduki oleh Pangeran Diponegoro di sebuah ruangan di Karesidenan Kedu (Sekarang Bakorwil II Jateng). Ada bekas goresan kuku beliau. Menurut sejarawan, bekas goresan itu adalah reaksi kegeraman Pangeran Diponegoro ketika mengetahui bahwa perundingan dengan Jendral De Kock saat itu adalah jebakan belaka. Dalam sekejap di luar ruangan sudah dikepung oleh serdadu tengik kafir Belanda. Pengepungan ini menandai akhir perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap penjajah kafir Belanda. Ia tertangkap bukan karena inferioritas kekuatan tapi oleh konspirasi licik penuh tipu muslihat.
Warisan Nusantara Islam. Sebuah kearifan aseli yang harus dijaga dan diperkenalkan kembali bahwa kemerdekaan diraih dari tinta ulama dan darah syuhada.
Kitab Taqrib, berisi tentang strategi perang dan pesan-pesan jihad. Berusia sekitar tiga abad. Hadiah dari Kiyai Syafi'i, guru spiritual Pangeran Diponegoro di masa-masa genting Perang Jawa. Terdapat catatan pinggir pada teksnya, mengindikasikan pernah ada yang mencoba mensyarahnya. Kitab ini saya foto di museum kamar Karesidenan Kedu Magelang. Kata pengelola museum, kitab ini sudah pernah coba diterjemahkan oleh Goethe Institute atas dorongan dari Peter Carey, Indonesianis yang paling lama meneliti Pangeran Diponegoro selama 30 tahun. Entah dimana sekarang terjemahannya. Sebab di kitab Ramalan Peter Carey juga tidak dicantumkan.