Menjadi manusia adalah sebuah kemuliaan dan sebentuk amanah.
Telah dimuliakannya manusia ditegaskan Allah dalam Al Qur’an Surah Al Israa’
ayat 70 berikut :
“Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan
anak-anak Adam dan Kami telah beri mereka menggunakan berbagai-bagai kenderaan
di darat dan di laut dan Kami telah memberikan rezeki kepada mereka dari
benda-benda yang baik-baik serta Kami telah lebihkan mereka dengan
selebih-lebihnya atas banyak makhluk-makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Penyematan kemuliaan pada manusia bukan tanpa sebab. Ia adalah sebuah pernyataan amanah atas
risalah kekhilafaan. Titah untuk mengemban peran yang tidak sederhana dibanding
makhluk Allah yang lain. Manusia pula dibatasi oleh umur. Maka status manusia
yang menegaskan kemuliaannya dapat dilihat dari bagaimana mereka mengisi usia
yang terbatas itu. Usia manusia adalah kumpulan hari yang bila berlalu sebagian
hari maka berlalu pula lah sebagian dari diri manusia. Dalam mengemban peran kekhalifaan di bumi dalam
waktu yang singkat itu maka diamanahkanlah risalah disetiap pundak manusia
berupa Ibadtullahi dan imaratul ardhi.
Risalah yang pertama berupa Ibadatullahi, yaitu beribadah kepada Allah sebagaimana yang termaktub
dalam surah Ad Dzariaat ayat 56 ;
“Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Bagi mereka yang mengerti tujuan penciptaan manusia
sebagaimana yang terjelaskan dalam ayat diatas maka dia akan menghimpun kesadaraan
untuk tunduk kepada Allah. Aspek penghambaan menjadi hal yang dominan dalam
mengontrol segala tindak tanduknya. Sebaliknya, bagi mereka yang lalai dan abai
terhadap aspek penghambaan, maka tercabutlah kemuliaan darinya.
Risalah yang kedua ialah dalam rangka Imaratul ardhi atau mengemban tugas memelihara bumi. Sebagaimana yang
dititahkan di surah Hud ayat 61 ;
“Dia telah menciptakan
kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah
ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya.”
Maka tugas membangun peradaban di muka bumi menjadi risalah
kedua yang ditipkan di pundak setiap manusia. Melakukan terobosan dalam ilmu
pengetahuan demi menjawab berbagai permasalahan dalam urusan manusia. Allah membekali manusia dengan sarana untuk menunaikan
risalah kekhilafaan tersebut berupa taufiq dalam bentuk pendengaran untuk
memahami ilmu dan hikmah, pengelihatan serta hati nurani. Sebagaimana yang
termaktub di surah An nahl ayat 87
“Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun,
dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
Namun masalah pertama
muncul tatkala manusia memisahkan kedua risalah di atas. Memisahkan aspek agama
dan dunia. Menjadikan keduanya bukan hal yang harus dijalankan seiring. Al
Qur’an memberi kita pelajaran akan kisah ummat terdahulu yaitu kaum Aad yang
mampu membangun peradaban gilang gemilang dengan bangunan yang tinggi namun
durhaka kepada Allah hingga adzab ditimpakan kepada mereka.
Masalah kedua berupa ketiadaannya tujuan yang jelas bagi
manusia yang kan menjadi kompas mereka untuk menjalankan risalah kekhilafaan.
Dengan Al Qur’an sebagai pedoman untuk tugas imaratul ardhi, maka manusia
dibimbing untuk saling mengenal satu sama lain sebagaimana yang tercantum di
Surah Al Hujuraat ayat 13.
“Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal.”
Menjalin komunikasi antar bangsa, suku lintas teritori
negara untuk membentuk masyarakat dan memberi warna disana. Menjadi bagian dari
masyarakat dunia. Dalam pergaulan sosial
itu seorang muslim dituntut untuk menjadi inspirasi dan arus utama yang mampu
tampil memimpin peradaban masyarakatnya menuju peradaban madani.
Dan manusia bisa terjembab kedalam kubangan nista bahkan
lebih hina dina dari binatang sekalipun jika tak menggunakan alat tersebut untuk
menunaikan risalah kekhilafaan sebagaimana yang termaktub di Surah Al A’raaf
ayat 179.
“Dan sesungguhnya Kami
jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah)
dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. Kedatangan azab
Allah kepada orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya dengan cara istidraj”